1.
Lex superior derogat legi
inferiori.
Peraturan perundang-undangan
bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat
lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih
tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang
peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah
Contoh kasus : Kasus Bank Global Tbk.
Dalam kasus
ini, pengurus dan sekaligus pemilik bank tersebut melakukan praktik tidak patut
yang dilakukan oleh seorang bankir (Neloe CS) dan merupakan tindakan kriminal
dari kacamata hukum. Serangkaian praktik memelukan dan berbau kriminal telah
terjadi pada bank tersebut. Mulai dari tidak bersedia memberikan dokumen dan
tidak mau memberikan keterangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas
perbankan, berupaya memusnahkan dokumen sampai menerbitkan surat berharga
fiktif.
Putusan
Pengadilan Negeri NO. 2068/PIDANA BIASA/2005/PN JAKARTA SELATAN, membebaskan
Neloe, CS karena tidak terbukti melakukan perbuatan korupsi dan Putusan
Mahkamah Agung Indonesia No. 1144 K/Pid/2006 yang kemudian menghukum Neloe CS
dengan hokuman 10 Tahun Penjara, karena terbukti perbuatan terpidana telah
melanggar Undang-undang Korupsi.
Dari kasus
diatas dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung telah mengabaikan dan melanggar
doktrin specialite sistematische. Dengan keputusan ini Mahkamah Agung telah
menyatakan diri secara tegas bahwa undang-undang Perbankan sebagai undang yang
bersifat umum, sedangkan undang-undang korupsi merupakan ketentuan yang lebih
khusus. Dari hal tersebut diatas, dalam kasus Neloe, penerapan hukum tindak
pidana perbankan sebagai tindak pidana korupsi dalam penegakan hukum pidana di
Indonesia telah melanggar ketentuan sistematische specialite sebagai secondary
rules yang harusnya dipatuhi. Akibat putusan ini, Mahkamah Agung telah
berkontribusi mendeligitimasi undang-undang perbankan, karena putusan ini
berimplikasi terhadap habisnya kepentingan-kepentingan hukum yang ingin
dilindungi oleh undang-undang perbankan .
Seharusnya MA
menjerat terdakwa dengan UU Perbankan, karena aturan hukum memuat asas lex
specialis derogate legi generali. Jadi bisa dikatakan UU Perbankan merupakan
ketentuan yang lebih khusus sedangkan UU Korupsi merupakan ketentuan yang lebih
umum, bukan sebaliknya.
2.
Lex specialis derogat legi
generalis
Asas ini mengandung makna, bahwa
aturan hukum yang khusus akan menggesampingkan aturan hukum yang umum.
Ada beberapa prinsip yang harus
diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis:
a. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan
hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus
tersebut.
b. Ketentuan-ketentuan lex specialis
harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis
(undang-undang dengan undang-undang).
c. Ketentuan-ketentuan
lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama
dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
Contoh Kasus :
a.
kasus yang menarik untuk dibahas adalah kasus
pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000, pada pasal
46 UU Nomor 26 Tahun 2000 berbunyi “Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang
berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan
mengenai kadaluarsa”. Tentunya bertentangan dengan pasal 28 i UUD NRI 1945 yang
berbunyi ”...dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pertentangan seperti ini tentunya tidak
lagi menggunakan asas lex specialis derogat legi generale melainkan asas lex
superior derogat legi inferiori karena kedua peraturan tersebut secara hierarki
tidak sederajat, jadi yang harus ditaati adalah pasal 28 i UUD NRI 1945.
Jadi solusinya untuk penegakan hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat yang
terjadi sebelum adanya UU pengadilan HAM tersebut tentunya diselesaikan dengan
menggunakan ketentuan umum yang ada dalam KUHP yang berkaitan dengan kasus
tersebut. Dan sangat ironis jika dalam kasus seperti ini masih ada yang
memaksakan untuk menjerat dengan UU pengadilan HAM tanpa memperhatikan peluang
seorang pelaku dapat dibebaskan karena kesalahan seperti ini dan sangatlah sulit
untuk menjerat kembali dengan dakwaan yang berbeda terhadap kasus yang sama
karena kita menganut asas ne bis ni idem.
b.
kasus yang tidak asing lagi dalam masyarakat adalah
tindak pidana korupsi, untuk kasus yang terjadi setelah UU Nomor 31 Tahun 1999
jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentunya diselesaikan menurut UU tersebut bukan lagi
ketentuan umum yang ada dalam KUHP dengan dasar asas lex specialis derogat legi
generale. Tetapi untuk kasus tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU
tindak pidana korupsi tersebut yang digunakan untuk menyelesaikannya bukan lagi
UU tindak pidana korupsi sekalipun ada ketentuan dalam UU tersebut yang
menyatakan UU ini berlaku surut, dengan dasar asas legalitas maka ketentuan
tersebut tidak dapat digunakan, bukan berarti tidak dapat diadili atau
dibiarkan begitu saja, melainkan digunakan ketentuan umum yang ada dalam KUHP
yang berkaitan dengan kasus tersebut jadi tidak ada alasan untuk tidak dapat
menjerat seorang koruptor jika para penegak hukum memang memiliki komitmen untuk
menegakkan hukum.
3.
Asas lex posterior derogat
legi priori.
Aturan hukum yang lebih baru
mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior
derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru.
Asas ini pun memuat
prinsip-prinsip :
a. Aturan
hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama;
b. Aturan
hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama.
Asas ini antara lain bermaksud
mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dengan adanya
Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur
pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting.
Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat
aturan hukum baru mulai berlaku.
Contoh Kasus :
Dilematis
permasalah menjadi semakin bertambah karena berselang satu bulan, muncul
Keputusan Menhut No. 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di
Wilayah Provinsi Jawa Barat. Yang menarik bahwa Keputusan Menteri yang
belakangan secara materiil meralat substansi Keputusan Menhut No. 175. Hal ini
sebagaimana suatu azas bahwa hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama
dalam materi yang sama. Dengan berlakunya keputusan Menteri Kehutanan No.
195/Kpts-II/2003 secara materiil bahwa Keputusan Menteri Kehutanan No.
175/Kpts-II/2003 menjadi gugur, sehingga kedudukan pihak ke III yang telah
memperoleh ijin tidak berpengaruh. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, hukum
yang dinyatakan ugur atau batal demi hukum tidak dengan sendirinya berlaku sebagaimana
mestinya. Sebagai contoh PERDA-PERDA yang bertentangan dengan Undang-Undang No.
41 Th. 1999 tentang Kehutanan, adalah batal demi hukum, namun PERDA tersebut
tidak serta merta gugur, melainkan tetap dimintakan pembatalannya, itupun
daerah ada yang tidak mau melaksanakan.
Berdasarkan
azas ini bahwa yang berlaku secara hukum adalah keputusan Menteri Kehutanan No.
195/Kpts-II/2003 itu artinya usaha-usaha pelestarian dan konservatif kawasan
menjadi mundur. Usaha peningkatan fungsi terutama dari hutan produksi menjadi
kawasan konservasi merupakan kebijakan antisipatif, karena kita tahu istilah
degradasi, deforestasi kawasan hutan baik secara legal (HPHTI, kebun sawit) dan
illegal (penebangan liar, perambahan) sudah merupakan isu nasional yang
menghiasi media sehari-hari baik media tertulis maupun elektronik. Namun hingga
saat ini belum mampu di atasi secara komperhensif. Untuk itu diperlukan
langkah-langkah mendesak terhadap konsevasi, rehabilitsi dan atau reklamasi.
Kawasan produksi dan lindung rentan terhadap tekanan eksternal/usaha-usaha
ekonomisasi dari pemilik modal besar, bersamaan dengan itu kita sering berada
pada posisi yang lemah.
Kedua azas
hukum yang telah dijelaskan di atas dimaksudkan untuk menjaga kepastian hukum,
dalam kasus ini bagi pihak perusahaan menyangkut akan kepastian lahan dan
kepastian usaha. Di Negara kita kepastian hukum merupakan variabel yang sangat
dikeluhkan oleh dunia investor. Keadaan tersebut dapat diketahui setiap kali
Kepala Negara betemu dengan pengusaha asing, statement awal yang diperlukan
adalah kepastian hukum.
4.
Asas
Undang-Undang Tidak Berlaku Surut (Nullum delictum sine praevia lege
poenali)
Seandainya seseorang melakukan suatu
tindak pidana yang baru kemudian hari terhadap
tindakan yang serupa diancam dengan pidana, pelaku tdk dapat dipidana atas ketentuan yang baru itu. Hal ini untuk menjamin warga
negara dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
Contoh
kasus :
Permohonan yang diajukan oleh Wakil
Ketua DPRD Kabupaten Kupang Anthon Melkianus Natun dinyatakan ditolak untuk
seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pembacaan putusan dibacakan oleh
Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi di
Ruang Sidang Pleno MK. “Menyatakan dalam
Provisi, menolak permohonan provisi Pemohon. Dalam Pokok Permohonan,
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Mahfud membacakan Putusan Nomor
21/PUU-IX/2011 tersebut.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon
mendalilkan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 tersebut multitafsir sehingga bertentangan dengan asas kepastian hukum
dan asas non-retroactive (larangan berlaku surut) serta tidak memenuhi
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Pendapat Mahkamah yang
dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menyatakan
bahwa Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 yang menentukan bahwa Pimpinan
DPRD berasal dari partai politik (Parpol) berdasarkan urutan perolehan kursi
terbanyak di DPRD kabupaten/kota, menurut Mahkamah maksudnya sudah jelas dan
terang, tidak dapat ditafsirkan lain“Mahkamah menilai ketentuan tersebut sama
sekali tidak melanggar asas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum bagi pimpinan DPRD yang telah ditetapkan sebagai pimpinan yang
kemudian karena terjadi pemekaran sebagai aspirasi dari rakyat yang berdaulat,
harus berakhir jabatannya sebagai pimpinan karena urutan perolehan kursi
Parpolnya menjadi berkurang. Kepastian hukum dari peraturan tersebut justru
terletak pada ketentuan bahwa jikalau urutan perolehan kursi Parpol berubah
berhubung dengan pemekaran daerah, atas aspirasi rakyat yang berdaulat, maka
komposisi jabatan pimpinan harus juga berubah,” jelas Fadlil.
Menurut Mahkamah, lanjut Fadlil, ketentuan
Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 justru sesuai dengan kepastian hukum yang adil,
sekaligus perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan a quo, sambung Fadlil
menyebutkan bahwa parpol yang sebelum pemekaran daerah urutan perolehan
kursinya kurang dari Parpol lainnya tetapi kemudian sebab adanya pemekaran
daerah urutan perolehan kursinya menjadi lebih banyak berhak menduduki jabatan
pimpinan DPRD. “Sebaliknya Parpol yang urutan perolehan kursinya menjadi
berkurang dan tidak lagi menempati urutan perolehan kursi terbanyak harus
diberhentikan dari jabatan pimpinan DPRD. Hal tersebut bersesuaian pula dengan
ketentuan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang memberikan kepada setiap warga
negara kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” urainya.
Sementara itu, mengenai dalil Pemohon
bahwa Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD
1945 yang merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun, khususnya hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Menurut Mahkamah seperti yang diungkapkan Hakim Konstitusi Muhammad Alim, dalam
hal pemberhentian pimpinan DPRD yang sebelumnya urutan perolehan kursi
Parpolnya terbanyak karena pemekaran daerah, makna kata-kata “tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut” adalah berlaku mutlak di bidang hukum
pidana karena hal itu bertentangan dengan asas legalitas. “Adapun dalam
hubungan dengan permohonan Pemohon, pemberhentian dari jabatan, bukan dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut, melainkan berdasarkan perubahan urutan
perolehan kursi Parpol Pemohon karena adanya perpindahan kursi anggota DPRD
Parpol Pemohon sehingga perolehan kursi Parpol Pemohon tidak lagi menempati
urutan terbanyak,” ujar Alim.
Alim menambahkan semua anggota DPRD,
mewakili para pemilih yang memilih mereka. Jikalau para pemilih yang berdaulat
sudah tidak lagi termasuk dalam wilayah daerah induk, melainkan telah termasuk
dalam wilayah daerah pemekaran, maka anggota DPRD yang masih tetap di wilayah
daerah induk sudah tidak mewakili Pemilih yang sudah termasuk wilayah daerah
pemekaran. “Dengan demikian, setiap ada pemekaran daerah dan ada pemindahan
kursi DPRD ke daerah pemekaran akan mengubah konfigurasi dukungan pemilih yang
berdaulat kepada Parpol tertentu. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang
diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon tidak
beralasan menurut hukum,” ujar Alim.
Dalam putusan tersebut, terdapat tiga
hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, dan Anwar Usman.
Ketiganya menyatakan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dengan
menyatakan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 adalah inkonstitusional
bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu inkonstitusional
sepanjang tidak ditafsirkan: “komposisi pimpinan DPRD tidak berubah
walaupun terjadi perubahan komposisi jumlah kursi masing-masing partai politik
akibat pengisian anggota DPRD daerah pemekaran dari kabupaten/kota yang terjadi
setelah penetapan pimpinan DPRD kabupaten/kota induk berdasarkan hasil
pemilihan umum”.
Dari berbagai ketentuan, jelas Hamdan, hukum
memberi jaminan masa jabatan pimpinan DPRD adalah lima tahun dan tidak ada
mekanisme untuk memberhentikannya di tengah masa jabatan kecuali berdasarkan
ketentuan Pasal 42 PP 16/2010. Oleh karena itu, alasan yang digunakan
untuk mengganti posisi salah satu pimpinan DPRD Kabupaten Kupang yang dijabat
oleh Pemohon dengan alasan jumlah kursi Partai HANURA berkurang setelah
pengalihan sebagian anggota ke DPRD Kabupaten Sabu Raijua akibat pengisian
anggota DPRD di daerah pemekaran adalah tidak adil bagi Pemohon karena
menyalahi ketentuan mengenai alasan-alasan pemberhentian pimpinan DPRD di
tengah masa jabatan.
Hamdan mengemukakan tidak ada satupun
mekanisme hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk
memberhentikan pimpinan DPRD karena perubahan komposisi jumlah kursi akibat
pemekaran daerah, sehingga hukum harus memberi jaminan bagi seseorang yang
sudah diangkat menjadi pimpinan DPRD untuk masa jabatan lima tahun dan tidak
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya tanpa alasan yang sudah diatur dengan
jelas.
Mekanisme penentuan pimpinan DPRD bukanlah
persoalan konstitusional, tetapi persoalan legal policy dan politik hukum
pembentuk Undang-Undang. “Artinya, apakah pimpinan DPRD ditentukan berdasarkan
peringkat perolehan kursi partai politik ataukah peringkat jumlah kursi di DPRD
atau pemilihan oleh anggota DPRD hanyalah cara dan pilihan politik semata-mata
dan bukan persoalan konstitusi. Oleh karena itu, dalam kasus ini persoalan
legal policy tidak boleh mengorbankan hak konstitusional warga negara untuk
mendapatkan kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh konstitusi in
casu hak seseorang yang telah diangkat untuk menduduki jabatan pimpinan DPRD
selama 5 tahun yang telah dijamin oleh hukum yang telah ada sebelumnya.
Oleh karena itu, untuk mencegah pelanggaran prinsip kepastian hukum yang
adil yang dijamin konstitusi, maka penafsiran Pasal 354 ayat (2) UU
27/2009 tersebut perlu dibatasi dan ditegaskan oleh Mahkamah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar