Rabu, 06 Juni 2012

Antisipasi Defek Moral Terhadap Penentuan Kriteria Calon Guru PPKn Dalam Pengembangan Moral Pancasila Yang Baik


BAB 1
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
            Kondisi moral bangsa Indonesia saat ini sudah mulai menghawatirkan. Banyak para remaja kita yang sebenarnya berfungsi sebagai tiang bangsa sudah mulai melupakan pentingnya moral dan justru malah kondisi moral mereka sudah mulai rusak. Mereka sudah mulai melupakan nilai,norma dan etika yang seharusnya benar-benar mereka jaga dan mereka pupuk.Kerusakan moral bangsa Indonesia bukan semata-mata salah pemerintah yang terlihat tidak memperdulikan masalah itu. Seolah-olah pemerintah hanya terfokus dalam menaikan mutu pendidikan melalui perbaikan-perbaikan standar nilai tidak melihat bagaimana kondisi moral peserta didik. Karena sesungguhnya tidak hanya intelektual saja yang harus dikembangkan namun moral juga harus ikut berkembang.
            Instansi sekolah seakan-akan hanya sebagai suatu hiasan saja, tidak ada sesuatu yang dihasilkan dari sekolah yang seharusnya sekolah juga turut serta dalam membentuk moral-moral anak didik yang selanjutnya akan menjadi generasi penerus bangsa.Tidaklah terlalu naif jika kita mengatakan bahwa pendidikan kita (Indonesia) adalah faktor utama dari keterpurukan moralitas. Harus diakui bahwa selama ini sistem pendidikan kita, khususnya pendidikan agama, masih sangat sedikit mengajarkan akhlak atau moralitas, atau hal tersebut hanya diajarkan sebagai sebuah wacana dan teori tanpa banyak menyentuh aspek afektif dan psikomotor. Bahkan tak jarang pendidikan kita minus keteladanan.
            Pendidikan Indonesia saat ini merupakan hasil dari kebijaksanaan politik pemerintah  Indonesia selama ini. Mulai dari pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. PendidikanIndonesiamasih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi materialisme-kapitalisme. Ideologi pendidikan yang demikian ini memang secara teoritis tidak nampak, akan tetapi secara praktis merupakan realitas yang tidak dapat dibantah lagi. Materialisasi atau proses menjadikan semua bernilai materi telah merusak di segala sendi sistem pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan PPKn. Sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya dalam materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah ke hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang diharapkan dari proses pendidikan tersebut.
            Akumulasi dari problem pendidikan yang tersebut diatas adalah, seringkali kita menyaksikan, mendengarkan, melihat atau bahkan melakukan perilaku-perilaku yang tidak bermoral. Misal, pencurian, pembunuhan, peemerkosaan, menjual diri (PSK), KKN, dan sejenisnya yang tiap harinya masih menempati tempat utama dimedia elektronik, media masa, dengan jumlah yang paling banyak.
            Sebagai calon Guru PPKn kita harus memberi contoh tentang perilaku moral yang baik sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu, dari pemaparan latar belakang diatas maka akan dibahas tentang “Antisipasi Defek Moral Terhadap Penentuan Kriteria Calon Guru PPKn Dalam Pengembangan Moral Pancasila Yang Baik”.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Defek Moral ?
2.      Bagaimana kriteria calon guru PPKn dalam pengembangan moral pancasila yang baik?
3.      Bagaimana cara mengantisipasi defek moral terhadap Penentuan Kriteria Calon Guru PPKn dalam Pengembangan Moral Pancasila yang baik?
C.     Tujuan penulisan Makalah
1.      Untuk mengetahui pengertian dari defek moral
2.      Untuk mengetahui kriteria calon guru PPKn dalam pengembangan moral Pancasila yang baik
3.      Untuk mengerahui cara mengantisipasi defek moral terhadap Penentuan Kriteria alon Guru PPKn dalam Pengembangan Moral Pancasila yang baik

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Defek Moral
            Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat dan kurang. Adapun Defisien/defek moral adalah kondisi individu yang hidupnya delinquent (nakal, jahat), selalu melakukan kejahatan, dan bertingkah laku a-sosial atau anti social; namun tanpa penyimpangan atau gangguan organic pada fungsi inteleknya, hanya saja inteleknya tidak berfungsi, sehingga terjadi kebekuan moral yang kronis.Sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Moralitas diartikan sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriyah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kejiwaan dan tanggung jawab dan bukan untuk mecari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih.
            Pribadinya cenderung psikotis dan mengalami regresi, dengan penyimpangan-penyimpangan relasi kemanusiaan. Sikap orang-orang yang defek mentalnya ialah dingin, beku, tanpa afeksi. Emosinya steril terhadap sesama manusia; munafik, jahat, sangat egoistis, self-centered, tidak menghargai orang lain. Tingkah-lakunya selalu salah dan jahat (misconduct); sering melakukan kekerasan, kejahatan, penyerangan. la selalu melanggar hukum, norma dan standar sosial.Kelemahannya terutama ialah ketidakmampuannya untuk mengenali, memahami, mengendalikan dan melakukan regulasi terhadap emosi-emosi, impuls-impuls dan tingkahlaku sendiri. Mereka itu tidak bisa dipercaya. Kualitas mental mereka pada umumnya rendah.Pembentukan egonya sangat lemah, sehingga dorongan-dorongan instinktif yang primer selalu meledak-ledak tidak terkendali. Impuls-impulsnya tetap ada pada tingkat primitif. la tidak bisa mengontrol diri, disertai agresivitas yang meledak-ledak dan rasa permusuhan terhadap siapa pun juga.Di antara penjahat-penjahat habitual dan recidivist yang defek moralnya itu, menurut statistik, lebih kurang 82% disebabkan oleh konstitusi disposisional dan perkembangan mental yang salah. Sedang lebih kurang 18% dari mereka menjadi penjahat disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan. Yang termasuk dalam kelompok defek moral ini ialah anak-anak bubrah dan anak-anak delinkuen (juvenile delinquency).
B.     Kriteria calon guru PPKn dalam pengembangan moral pancasila yang baik
            Guru PPKn sebagai suatu jabatan yang profesional seharusnya tidak dapat dipegang oleh sembarangan orang, sehingga hanya orang-orang tertentu yang memilki syarat yaitu mempunyai etika, moral yang baik,. Guru PPKn tidak lah sama dengan guru bidang studi yang lainnya, karena Calon Guru PPKn mempunyai beberapa kriteria yaitu :
a.       Mempunyai keyakinan terhadap kebenaran Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa maupun sebagai dasar NKRI
b.      Dapat mengembangkan nilai-nilai luhur pancasila dalam kehidupan tingkah laku sehari-hari
c.       Mempunyai kesadaran akan hak dan kewajiban , taat terhadap peraturan yang berlaku dan memilki budi pekerti yang luhur
d.      Mengetahui pengetahuan yang benar mengenai Pancasila,  UUD 1945, dan GBHN
            Kriteria calon guru PPKn dalam pengembangan moral pancasila yang baik sangat meentukan dalam pembentukan kepribadian bangsa, hal ini sangat penting mengingat siswa adalah generasi muda yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa. Meningkatnya ketertiban, kedisiplinan dan sikap kesopanan siswa pada umumnya menunjukkan keberhasilan dalam upaya tersebut.
C.     Cara mengantisipasi defek moral terhadap Penentuan Kriteria Calon Guru PPKn dalam Pengembangan Moral Pancasila yang baik
            Sebagai calon guru PPKn tentunya kita harus mampu mengantisipasi defek moral yang mampu menggangu pengembangan moral Pancasila. Cara yang dapat kita tempuh yaitu dengan Pemberian pendidikan moral.
a.       Pendidikan moral dapat dilakukan dengan memantapkan pelaksanaan pendidikan PPKn. Karena nilai-nilai dan ajaran PPKn pada akhirnya ditujukan untuk membentuk moral yang baik.
b.      Pendidikan moral dapat dilakukan dengan pendekatan yang bersifat integrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Pendidikan moral bukan hanya terdapat dalam pendidikan agama saja, melainkan juga terdapat pada pelajaran bahasa, matematika, fisika, biologi, sejarah dan sebagainya.
c.       Sejalan dengan cara yang kedua tersebut di atas, pendidikan moral harus melibatkan seluruh guru. Pendidikan moral bukan hanya menjadi tanggung jawab guru PPKn seperti yang selama ini ditentukan, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh guru.
d.      Pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Orang tua di rumah harus meningkatkan perhatiannya terhadap anak-anaknya, dengan meluangkan waktu untuk memberi bimbingan, teladan dan pembiasaan yang baik. Sekolah juga harus berupaya menciptakan lingkungan yang bernuansa religius, seperti membiasakan solat berjama’ah, menegakkan disiplin dalam kebersihan, ketertiban, kejujuran, tolong-menolong, sehingga nilai-nilai agama menjadi kebiasaan, tradisi atau budaya seluruh siswa. Kemudian, sikap dan perilaku guru yang kurang dapat diteladani atau menyimpang hendaknya tidak segan-segan diambil tindakan. Sementara itu, masyarakat juga harus berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan akhlak, seperti membiasakan solat berjama’ah, gotong royong, kerja bakti, memelihara ketertiban dan kebersihan, menjauhi hal-hal yang dapat merusak moral, dan sebagainya.
e.       Pendidikan moral harus menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk teknologi modern. Kesempatan berkreasi, pameran, kunjungan, berkemah dan sebagainya, harus digunakan sebagai peluang untuk membina moral.
f.       Pembinaan moral pada anak bukan dengan cara menyuruh anak menghafalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak kecil. Namun, moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Misalnya, seorang anak dibiasakan makan, minum, tidur, berjalan, berbicara, dan berhubungan dengan orang lain, sesuai ketentuan agama. Selanjutnya dibiasakan juga bersikap jujur, adil, konsekuen, ikhlas, pemaaf, sabar, berbaik sangka dan sebagainya dalam berbagai aspek kehidupan.
            Dengan demikian, pembinaan moral memang sangatlah penting. Pendidikan moral harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan di bidang pendidikan negeri ini. Sehingga, Indonesia tidak hanya mencetak generasi-generasi yang pintar saja, tetapi juga bermoral, beradab dan memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Defek moral adalah kondisi individu yang hidupnya delinquent (nakal, jahat), selalu melakukan kejahatan, dan bertingkah laku a-sosial atau anti social; namun tanpa penyimpangan atau gangguan organic pada fungsi inteleknya, hanya saja inteleknya tidak berfungsi, sehingga terjadi kebekuan moral yang kronis. Oleh karena itu sebagai calon guru PPKn untuk mengatasi hal tersebut,  pendidikan moral saat ini menjadi salah satu cara dalam membenahi moral-moral bangsa yang kian rusak setelah dahulu pada waktu orde baru sudah dijadikan alat untuk membentuk moral masyarakat. Keberhasilan pendidikan moral dalam membenahi kerusakan moral tergantung pada pihak-pihak yang menjalankan. Dengan demikian, pembinaan moral memang sangatlah penting. Pendidikan moral harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan di bidang pendidikan negeri ini. Sehingga, Indonesia tidak hanya mencetak generasi-generasi yang pintar saja, tetapi juga bermoral, beradab dan memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini.
B.     Saran
            Sebagai calon guru PPKn segala tingkah laku dan perbuatannya adalah sebagai suri tauladan, maka hendaknya dalam bertingkah laku sehari-hari mampu mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Serta harus ada campur tangan Pemerintah dalam mengawasi pelaksanaan pendidikan moral sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal. Pengawasan bukan hanya pada pelaksanaan namun pada tenaga pendidik juga apabila terdapat tenaga pengajar yang tidak sesuai dengan pelaksanaan maka herus diberi sanksi yang tegas.

 DAFTAR PUSTAKA

Agust hutabarat, Peran KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. 6 Januari 2009 •
Andi Hamzah, Pemberantasan. Korupsi 2005 buku KPK ‘Mengenali dan Memberantas Korupsi’

Kamis, 03 Mei 2012

KASUS DAN ASAS HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN

1.      Lex superior derogat legi inferiori.
Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah
Contoh kasus : Kasus Bank Global Tbk.
Dalam kasus ini, pengurus dan sekaligus pemilik bank tersebut melakukan praktik tidak patut yang dilakukan oleh seorang bankir (Neloe CS) dan merupakan tindakan kriminal dari kacamata hukum. Serangkaian praktik memelukan dan berbau kriminal telah terjadi pada bank tersebut. Mulai dari tidak bersedia memberikan dokumen dan tidak mau memberikan keterangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas perbankan, berupaya memusnahkan dokumen sampai menerbitkan surat berharga fiktif.
Putusan Pengadilan Negeri NO. 2068/PIDANA BIASA/2005/PN JAKARTA SELATAN, membebaskan Neloe, CS karena tidak terbukti melakukan perbuatan korupsi dan Putusan Mahkamah Agung Indonesia No. 1144 K/Pid/2006 yang kemudian menghukum Neloe CS dengan hokuman 10 Tahun Penjara, karena terbukti perbuatan terpidana telah melanggar Undang-undang Korupsi.
Dari kasus diatas dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung telah mengabaikan dan melanggar doktrin specialite sistematische. Dengan keputusan ini Mahkamah Agung telah menyatakan diri secara tegas bahwa undang-undang Perbankan sebagai undang yang bersifat umum, sedangkan undang-undang korupsi merupakan ketentuan yang lebih khusus. Dari hal tersebut diatas, dalam kasus Neloe, penerapan hukum tindak pidana perbankan sebagai tindak pidana korupsi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia telah melanggar ketentuan sistematische specialite sebagai secondary rules yang harusnya dipatuhi. Akibat putusan ini, Mahkamah Agung telah berkontribusi mendeligitimasi undang-undang perbankan, karena putusan ini berimplikasi terhadap habisnya kepentingan-kepentingan hukum yang ingin dilindungi oleh undang-undang perbankan .
Seharusnya MA menjerat terdakwa dengan UU Perbankan, karena aturan hukum memuat asas lex specialis derogate legi generali. Jadi bisa dikatakan UU Perbankan merupakan ketentuan yang lebih khusus sedangkan UU Korupsi merupakan ketentuan yang lebih umum, bukan sebaliknya.

2.      Lex specialis derogat legi generalis
Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan menggesampingkan aturan hukum yang umum.
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis:  
a.        Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
b.       Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang).
c.       Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
Contoh Kasus :
a.      kasus yang menarik untuk dibahas adalah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000, pada pasal 46 UU Nomor 26 Tahun 2000 berbunyi “Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa”. Tentunya bertentangan dengan pasal 28 i UUD NRI 1945 yang berbunyi ”...dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pertentangan seperti ini tentunya tidak lagi menggunakan asas lex specialis derogat legi generale melainkan asas lex superior derogat legi inferiori karena kedua peraturan tersebut secara hierarki tidak sederajat, jadi yang harus ditaati adalah pasal 28 i UUD NRI 1945. Jadi solusinya untuk penegakan hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum adanya UU pengadilan HAM tersebut tentunya diselesaikan dengan menggunakan ketentuan umum yang ada dalam KUHP yang berkaitan dengan kasus tersebut. Dan sangat ironis jika dalam kasus seperti ini masih ada yang memaksakan untuk menjerat dengan UU pengadilan HAM tanpa memperhatikan peluang seorang pelaku dapat dibebaskan karena kesalahan seperti ini dan sangatlah sulit untuk menjerat kembali dengan dakwaan yang berbeda terhadap kasus yang sama karena kita menganut asas ne bis ni idem.
b.      kasus yang tidak asing lagi dalam masyarakat adalah tindak pidana korupsi, untuk kasus yang terjadi setelah UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentunya diselesaikan menurut UU tersebut bukan lagi ketentuan umum yang ada dalam KUHP dengan dasar asas lex specialis derogat legi generale. Tetapi untuk kasus tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU tindak pidana korupsi tersebut yang digunakan untuk menyelesaikannya bukan lagi UU tindak pidana korupsi sekalipun ada ketentuan dalam UU tersebut yang menyatakan UU ini berlaku surut, dengan dasar asas legalitas maka ketentuan tersebut tidak dapat digunakan, bukan berarti tidak dapat diadili atau dibiarkan begitu saja, melainkan digunakan ketentuan umum yang ada dalam KUHP yang berkaitan dengan kasus tersebut jadi tidak ada alasan untuk tidak dapat menjerat seorang koruptor jika para penegak hukum memang memiliki komitmen untuk menegakkan hukum.

3.      Asas lex posterior derogat legi priori.
Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru.
Asas ini pun memuat prinsip-prinsip :
a.       Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama;
b.      Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama.
Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dengan adanya Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting. Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku.
            Contoh Kasus :
Dilematis permasalah menjadi semakin bertambah karena berselang satu bulan, muncul Keputusan Menhut No. 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Yang menarik bahwa Keputusan Menteri yang belakangan secara materiil meralat substansi Keputusan Menhut No. 175. Hal ini sebagaimana suatu azas bahwa hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama dalam materi yang sama. Dengan berlakunya keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003 secara materiil bahwa Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 menjadi gugur, sehingga kedudukan pihak ke III yang telah memperoleh ijin tidak berpengaruh. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, hukum yang dinyatakan ugur atau batal demi hukum tidak dengan sendirinya berlaku sebagaimana mestinya. Sebagai contoh PERDA-PERDA yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan, adalah batal demi hukum, namun PERDA tersebut tidak serta merta gugur, melainkan tetap dimintakan pembatalannya, itupun daerah ada yang tidak mau melaksanakan.
Berdasarkan azas ini bahwa yang berlaku secara hukum adalah keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003 itu artinya usaha-usaha pelestarian dan konservatif kawasan menjadi mundur. Usaha peningkatan fungsi terutama dari hutan produksi menjadi kawasan konservasi merupakan kebijakan antisipatif, karena kita tahu istilah degradasi, deforestasi kawasan hutan baik secara legal (HPHTI, kebun sawit) dan illegal (penebangan liar, perambahan) sudah merupakan isu nasional yang menghiasi media sehari-hari baik media tertulis maupun elektronik. Namun hingga saat ini belum mampu di atasi secara komperhensif. Untuk itu diperlukan langkah-langkah mendesak terhadap konsevasi, rehabilitsi dan atau reklamasi. Kawasan produksi dan lindung rentan terhadap tekanan eksternal/usaha-usaha ekonomisasi dari pemilik modal besar, bersamaan dengan itu kita sering berada pada posisi yang lemah.
Kedua azas hukum yang telah dijelaskan di atas dimaksudkan untuk menjaga kepastian hukum, dalam kasus ini bagi pihak perusahaan menyangkut akan kepastian lahan dan kepastian usaha. Di Negara kita kepastian hukum merupakan variabel yang sangat dikeluhkan oleh dunia investor. Keadaan tersebut dapat diketahui setiap kali Kepala Negara betemu dengan pengusaha asing, statement awal yang diperlukan adalah kepastian hukum.

4.      Asas Undang-Undang Tidak Berlaku Surut (Nullum delictum sine praevia lege poenali)
Seandainya seseorang melakukan suatu tindak pidana yang baru kemudian hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan pidana, pelaku tdk dapat dipidana atas ketentuan yang baru itu. Hal ini untuk menjamin warga negara dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
Contoh kasus :
Permohonan  yang diajukan oleh Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kupang Anthon Melkianus Natun dinyatakan ditolak untuk seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pembacaan putusan dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi di Ruang Sidang Pleno MK.  “Menyatakan dalam Provisi,  menolak permohonan provisi Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Mahfud membacakan Putusan Nomor 21/PUU-IX/2011 tersebut.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 tersebut multitafsir sehingga bertentangan dengan asas kepastian hukum dan asas non-retroactive (larangan berlaku surut) serta tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menyatakan bahwa   Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 yang menentukan bahwa Pimpinan DPRD berasal dari partai politik (Parpol) berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota, menurut Mahkamah maksudnya sudah jelas dan terang, tidak dapat ditafsirkan lain“Mahkamah menilai ketentuan tersebut sama sekali tidak melanggar asas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi pimpinan DPRD yang telah ditetapkan sebagai pimpinan yang kemudian karena terjadi pemekaran sebagai aspirasi dari rakyat yang berdaulat, harus berakhir jabatannya sebagai pimpinan karena urutan perolehan kursi Parpolnya menjadi berkurang. Kepastian hukum dari peraturan tersebut justru terletak pada ketentuan bahwa jikalau urutan perolehan kursi Parpol berubah berhubung dengan pemekaran daerah, atas aspirasi rakyat yang berdaulat, maka komposisi jabatan pimpinan harus juga berubah,” jelas Fadlil.
Menurut Mahkamah, lanjut Fadlil, ketentuan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 justru sesuai dengan kepastian hukum yang adil, sekaligus perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan a quo, sambung Fadlil menyebutkan bahwa parpol yang sebelum pemekaran daerah urutan perolehan kursinya kurang dari Parpol lainnya tetapi kemudian sebab adanya pemekaran daerah urutan perolehan kursinya menjadi lebih banyak berhak menduduki jabatan pimpinan DPRD. “Sebaliknya Parpol yang urutan perolehan kursinya menjadi berkurang dan tidak lagi menempati urutan perolehan kursi terbanyak harus diberhentikan dari jabatan pimpinan DPRD. Hal tersebut bersesuaian pula dengan ketentuan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang memberikan kepada  setiap warga negara kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” urainya.
Sementara itu, mengenai dalil Pemohon bahwa Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, khususnya hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Menurut Mahkamah seperti yang diungkapkan Hakim Konstitusi Muhammad Alim, dalam hal pemberhentian pimpinan DPRD yang sebelumnya urutan perolehan kursi Parpolnya terbanyak karena pemekaran daerah, makna kata-kata “tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut” adalah berlaku mutlak di bidang hukum pidana karena hal itu bertentangan dengan asas legalitas. “Adapun dalam hubungan dengan permohonan Pemohon, pemberhentian dari jabatan, bukan dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, melainkan berdasarkan perubahan urutan perolehan kursi Parpol Pemohon karena adanya perpindahan kursi anggota DPRD Parpol Pemohon sehingga perolehan kursi Parpol Pemohon tidak lagi menempati urutan terbanyak,” ujar Alim.
Alim menambahkan semua anggota DPRD, mewakili para pemilih yang memilih mereka. Jikalau para pemilih yang berdaulat sudah tidak lagi termasuk dalam wilayah daerah induk, melainkan telah termasuk dalam wilayah daerah pemekaran, maka anggota DPRD yang masih tetap di wilayah daerah induk sudah tidak mewakili Pemilih yang sudah termasuk wilayah daerah pemekaran. “Dengan demikian, setiap ada pemekaran daerah dan ada pemindahan kursi DPRD ke daerah pemekaran akan mengubah konfigurasi dukungan pemilih yang berdaulat kepada Parpol tertentu. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Alim.
Dalam putusan tersebut, terdapat tiga hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, dan  Anwar Usman. Ketiganya menyatakan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 adalah inkonstitusional bersyarat  (conditionally unconstitutional),  yaitu inkonstitusional sepanjang tidak ditafsirkan:  “komposisi pimpinan DPRD tidak berubah walaupun terjadi perubahan komposisi jumlah kursi masing-masing partai politik akibat pengisian anggota DPRD daerah pemekaran dari kabupaten/kota yang terjadi setelah penetapan pimpinan DPRD kabupaten/kota induk berdasarkan hasil pemilihan umum”.
Dari berbagai ketentuan, jelas Hamdan, hukum memberi jaminan masa jabatan pimpinan DPRD adalah lima tahun dan tidak ada mekanisme untuk memberhentikannya di tengah masa jabatan kecuali berdasarkan ketentuan Pasal 42 PP 16/2010.  Oleh karena itu, alasan yang digunakan untuk mengganti posisi salah satu pimpinan DPRD Kabupaten Kupang yang dijabat oleh Pemohon dengan alasan jumlah kursi Partai HANURA berkurang setelah pengalihan sebagian anggota ke DPRD Kabupaten Sabu Raijua akibat pengisian anggota DPRD di daerah pemekaran adalah tidak adil bagi Pemohon karena menyalahi ketentuan mengenai alasan-alasan pemberhentian pimpinan DPRD di tengah masa jabatan.
Hamdan mengemukakan tidak ada satupun mekanisme hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk memberhentikan pimpinan DPRD karena perubahan komposisi jumlah kursi akibat pemekaran daerah, sehingga hukum harus memberi jaminan bagi seseorang yang sudah diangkat menjadi pimpinan DPRD untuk masa jabatan lima tahun dan tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya tanpa alasan yang sudah diatur dengan jelas. 
Mekanisme penentuan pimpinan DPRD bukanlah persoalan konstitusional, tetapi persoalan  legal policy dan politik hukum pembentuk Undang-Undang. “Artinya, apakah pimpinan DPRD ditentukan berdasarkan peringkat perolehan kursi partai politik ataukah peringkat jumlah kursi di DPRD atau pemilihan oleh anggota DPRD hanyalah cara dan pilihan politik semata-mata dan bukan persoalan konstitusi. Oleh karena itu, dalam kasus ini persoalan legal policy tidak boleh mengorbankan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh konstitusi  in casu hak seseorang yang telah diangkat untuk menduduki jabatan pimpinan DPRD selama 5 tahun yang telah dijamin oleh hukum yang telah ada sebelumnya.  Oleh karena itu, untuk mencegah pelanggaran prinsip kepastian hukum yang adil  yang dijamin konstitusi, maka penafsiran Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 tersebut perlu dibatasi dan ditegaskan oleh Mahkamah.

Senin, 30 April 2012

Negara Indonesia itu dikatakan ada menurut Teori Pengakuan Negara


1.                        Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain. Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar
            Menurut teori konstitutif, di mata hukum internasional suatu negara baru lahir bila telah diakui oleh negara lain. Ini berarti bahwa suatu negara baru lahir bila diakui olehnegara lain. Ini berarti suatu negara belum lahir sebelum adanya pengakuan terhadapnegara tersebut. Dalam hal ini pengakuan mempunyai kekutan konstitutif.Berarti dalam hal ini diakuinya RIS sebagai suatu negara yang berdaulatsetelah adanya konverensi meja bundar yang di langsungkan di s’Gravenhage tanggal2 November 1949 antara RI, BFO, dan Belanda yang dihadiri oleh sebuah komisiPBB untuk Indonesia. Dalam konverensi tersebutlah RIS itu lahir dan belanda mampumengakui bahwa negara RIS adalah negara yang berdaulat berdasarkan pengakuannegara lain. Namun dalam hal ini RI berada dibawah RIS sebagai negara yang sah.Dalam teori ini jika suatu negara belum mendapat pengakuan dari negara lainmaka secara yuridis belum sah untuk mendirikan suatu pengakuan negara baru.Dengan hal itu maka akan menimbulkan pertanyaan, yaitu bagaimanakah statusIndonesia dari tanggal 17 agustus 1945 yang mendeklarasikan proklamasikemerdekaan hingga tangga 2 November 1949 dengan adanya pengakuan dari negaralain termasuk di dalamnya belanda. Berarti menurut teori konstitutif saya bisa katakan bahwa Indonesia belum secara sah menjadi negara baru karena memang belummendapat suatu pengakuan dari negara lain.Jelaslah bahwa bagi pengikut teori konstituf ini Negara itu secara hokum baru ada bila telah mendapatkan pengakuan dari Negara-negara lain. Selama pengakuan itu belum diberikan maka secara hukum negara itu belum lahir.
            Menurut Teori Deklaratif , pengakuan tidak menciptakan suatu negara karenalahirnya suatu negara semata-mata merupakan suatu fakta murni dan dalam hal ini pengakuan hanyalah berupa penerimaan fakta tersebut. Mereka menegaskan bahwasuatu negara begitu lahir langsung menjadi anggota masyarakat internasional dan pengakuan hanya merupakan pengukuhan dari kelahiran tersebut. Jadi pengakuantidak menciptakan suatu negara. Pengakuan bukan merupakan syarat bagi kelahiransuatu negara.Berarti dalam teori ini sangatlah berkebalikan dengan teori konstituf, dalamteori ini justru di akuinya atau lahirnya Indonesia yaitu sejak dideklarasikan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945 maka sejak itu Indonesia secaraotomatis langsung menjadi anggota masyarakat internasional tanpamempermasalahkan suatu pengakuan yang ada. Jadi dalam teori ini pengakuan bukanlah menjadi barang penting, karena tanpa pengakuan pun negara tersebut tetapdiakuai atau tetap lahir. Jadi adanya konveresi meja bundar tentang pengakuan RISoleh Belanda suadah tidak menjadi permasalahan. Karena dalam teori ini Indonesiasudah lahir menjadi banggsa yang sah sejak tanggal 17 agustus 1945, bukan darimulai di akuinya kemerdekaan oleh belanda.Sehingga pengakuan hanyalah bersifat pernyataan dari pihak negara lain, karenaapabila semua unsur kenegaraan telah di miliki oleh suatu masyarakaat politik, makatelah dengan sendirinya merupakan suatu negara dan harus di perlakukan sedemikianoleh negara lain sesuai dengan ketentuan yanga ada tersebut.→ Teori Jalan Tengah, untuk disebut sebagai negara cukup dengan unsur yang ada,tetapi untuk melakukan hak dan kewajiban hokum Internasional harus mendapatkan pengakuan negara lain. Disini dibedakan antara kepribadian internasional yangmelekat pada kepribadiaan ini. Berarti dalam teori ini menurut saya, kalau Indonesia berdiri secara sah sebagainegara adalah mulai dari kemerdekaan Indonesia sendiri tanggal 17 agustus 1945. Namun untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban di mulai dari adanya suatukonverensi meja bundar sehingga belanda mau mengakui RIS tertanggal 2 november 1949.Namun yang kembali timbul menjadi permasalahan adalah kemerdekaan itutermasuk dalam hak negara. Jadi bagaimana pun juga agar hak dan kewajiban harus  
ada suatu pengakuan dari negara lain.demikian hak  & kewajiban negara:
Hak Negara :
ü  Kemerdekaan
ü  Kesejahteraan Negara
ü  Hidup berdampngan secara Damai
ü  Mempertahankan diri
ü  Immunitas nagara
Kewajiban Negara:Menciptakan dan memelihara perdamaian dunia secara individual maupun bersama    
            Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya. Dalam perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi warganya.Berbagai keputusan harus dilakukan untuk mengikat seluruh warga negara, atau hukum, baik yang merupakan penjabaran atas hal-hal yang tidak jelas dalam Konstitusi maupun untuk menyesuaikan terhadap perkembangan zaman atau keinginan masyarakat, semua kebijakan ini tercantum dalam suatu Undang-Undang. Pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Undang-Undang haruslah dilakukan secara demokratis, yakni menghormati hak tiap orang untuk terlibat dalam pembuatan keputusan yang akan mengikat mereka itu. Seperti juga dalam organisasi biasa, akan ada orang yang mengurusi kepentingan rakyat banyak. Dalam suatu negara modern, orang-orang yang mengurusi kehidupan rakyat banyak ini dipilih secara demokratis pula.