Minggu, 14 April 2013

Membangun Pendidikan Berkarakter


Pengumuman kelulusan ujian nasional (UN) selalu menghadirkan dua sisi emosional yang sangat kontras. Di satu sisi, hampir sebagian besar pelajar yang mendapatkan kelulusan terutama di kota besar merayakannya dengan sukaria dan hura-hura berlebihan. Mulai konvoi kendaraan beramai-ramai hingga mencoret-coret baju seragam.

DI lain pihak, para pelajar yang tidak lulus menangis sejadi-jadinya, hingga tak jarang kita dapatkan berita percobaan bunuh diri karena frustrasi. Dua sisi perilaku pelajar kita seperti ini sangat disayangkan. Dunia pendidikan seharusnya jauh dari bingkai kejadian seperti di atas. Semestinya pendidikan mampu menciptakan karakter pelajar dengan pemikiran logis dan mampu membentuk insan-insan terdidik dengan emosi cerdas.

Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan jelas disebutkan sebuah alasan dibentuknya sebuah pemerintahan negara Indonesia yaitu "Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa"

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cerdas itu bermakna sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dan lainnya); tajam pikiran. Di sini jelas, ada dua elemen yang disebutkan yaitu akal dan budi.

Akal tentu merujuk pada hal intelektualitas. Sedangkan budi merujuk perilaku, moral, dan karakter. Bahkan terkait pendidikan ini, amandemen keempat UUD 1945 lebih spesifik menjelaskan dalam bab 13 pasal 31 ayat 3: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang".

Sangat jelas cita-cita dan semangat UUD atas pendidikan kita. Yakni bukan sekadar pembentukan intelektualitas semata. Tapi juga budi pekerti luhur-akhlak mulia. Namun dalam taraf pelaksanaannya ada yang salah. Sehingga, pendidikan kita kehilangan orientasi yang seharusnya. Tetapi hanya sebatas output hasil semata berupa angka-angka.

Orientasi yang salah inilah menjadikan bangsa kita tidak kunjung bangkit dari keterpurukan permasalahan. Penyakit akut kemiskinan dan korupsi terus menggelayuti masa depan bangsa kita. Sebab, pendidikan kita terjebak dalam orientasi pragmatis sehingga tergiur untuk mencapai tujuan dengan cara-cara praktis.

Kecerdasan intelektual diraih namun mental para anak bangsa kering dan hampa tanpa karakter. Erie Sudewo dalam bukunya Character Building (2011) secara gamblang menggambarkan betapa pentingnya elemen karakter. Ia menyatakan "Tanpa karakter, manusia pun bisa unggul dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Namun semakin dia cerdas, semakin tinggi kedudukannya, dan semakin kaya, maka semakin jahatlah dirinya. Sebab orang yang unggul tanpa karakter,  yang muncul adalah tabiatnya. Sifat-sifat buruknya sebagai perilaku sehari-hari".

Selama ini sekolah formal semacam SMP dan SMA selalu menjadi tujuan utama orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sedangkan sekolah-sekolah nonformal semacam asrama dan pondok pesantren selalu menjadi pilihan terakhir. Dengan alasan-alasan yang cukup lumrah dan manusiawi, pondok pesantren mendapatkan predikat sebagai sebuah lembaga pendidikan yang kolot, kumuh, dan jauh dari kemajuan jaman.

Ada berbagai kelebihan dan kekurangan yang masing-masing dimiliki oleh sekolah nonformal dan pondok pesantren. Sekolah formal cenderung menghasilkan lulusan-lulusan yang melek terhadap dunia luar dan memiliki output intelektualitas yang lebih, namun cenderung hampa karakter.

Sebaliknya, alumni pondok pesantren cenderung memiliki karakter yang kuat, namun gagap terhadap perkembangan dunia luar, dan kemampuan intelektualitasnya di bawah sekolah formal. Dan, kenyataannya adalah selama ini sekolah formal tidak mampu mengemban tugas untuk memberikan kebutuhan pendidikan karakter kepada para pelajar.

Mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan pun semakin tahun kian berkurang porsinya. Hal yang semakin membuat miris adalah selain asupan mata pelajaran tersebut semakin sedikit, para pendidik pun tak mampu menerapkan nilai-nilai moral dalam setiap interaksi nyata terutama pada pertemuan-pertemuannya di kelas.

Setiap pertemuan di kelas para guru cenderung hanya sekadar menunaikan kewajiban menyampaikan materi dan abai terhadap nilai. Setelah selesai menyampaikan mata pelajaran, maka interaksi antara guru dan murid pun berakhir sampai saat itu juga. Proses pembangunan emosional antara guru-murid nyaris tak ada. Padahal proses pembentukan emosional dan pembentukan karakter hanya bisa dilakukan melalui interaksi masif yang bukan sekadar basa-basi. Hal inilah yang justru ada di dunia pondok pesantren.

Perkara teknis pengimplementasian amanat UUD inilah yang seharusnya ditekankan oleh pemerintah terutama Kementerian Pendidikan. Pemerintah harus mampu menggabungkan metode pembelajaran antara pendidikan nonformal pondok pesantren dengan pendidikan formal modern.

Sehingga, pendidikan kita tidak hanya sekadar penanaman intelektualitas semata. Tetapi juga penanaman karakter. Dengan begitu, kenakalan-kenakalan pelajar bisa segera terhapus dan tumbuhlah pelajar-pelajar yang cerdas nan santun.

Guru Tua Yang Terbuang


Konon dulu pernah ada tradisi membuang guru yang sudah tua ke hutan belantara. Mereka yang dibuang adalah guru yang sudah tidak berdaya untuk mendidik murid-muridnya.
Pada suatu ahri ada seorang murid yang berniat membuang gurunya ke hutan, karena si guru telah lumpuh dan agak pikun. Si murid tampak bergegas menyusuri hutan sambil menggendong gurunya. Si guru yang kelihatan tak berdaya berusaha menggapai setiap ranting pohon yang bisa diraihnya lalu mematahkannya dan menaburkannya di sepanjang jalan yang mereka lalui.
Sesampai di dalam hutan yang sangat lebat, si murid meurunkan guru tersebut dan mengucapkan kata perpisahan sambil berusaha menahan sedih karena ternyata dia tidak meyangka tega melakukan perbuatan ini terhadap gurunya itu.
Justru si guru yang tampak tegar, dalam senyumnya dia berkata :
“Muridku, aku sangat menyanyangimu. Sejak kau kecil sampai dewasa aku selalu mendidikmu dengan segenap cintaku. Bahkan sampai hari ini rasa sayangku tidak berkurang sedikit pun. Tadi aku sudah menandai sepanjang jalan yang kita lalui dengan ranting-ranting kayu. Aku takut kau tersesat, ikutilah tanda itu agar kau selamat sampai dirumah.”
Setelah mendengar kata-kata tersebut, si murid menangis dengan sangat keras, kemudian langsung memeluk gurunya dan kembali menggendongnya untuk membawa gurunya pulang kerumah. Murid tersebut akhirnya merawat gurunya dan sangat mengasihinya sampai gurunya meninggal.
Jadi pelajaran yang bisa kita petik dari cerita diatas adalah “ Guru bukan barang rongsokan yang bisa dibuang atau diabaikan setelah terlihat tidak berdaya. Bagaimanapun Guru adalah peletak dasar kesuksesan Murid.

Sumber : Buku karya Endelweis Almira “GURU, hidupmu hanya untuk kami”

Kalau Bukan Saya, Siapa lagi ??


Apakah sudah merata pendidikan ke pelosok=pelosok negeri Indonesia yang memang kekayaan alam laur biasa melimpah ? jauh dari layak, mulai dari kelas seperti kandang ayam, genting dan atap kelas yang rusak berlubang dan bila hujan datang kegiatan belajar harus berhenti. Belum lagi kesejahteraan guru terpencil dan peningkatan pendidikan dari tenaga guru itu sendiri tiada tergapai pula.
Bagaimana mau pintar dan cerdas bangsa kita ini bila pendidikannya tidak merata? Ada kisah menyentuh seorang guru yang berada di tanah Papua daerah kaki gunung Jayawijaya Papua lulusan SD bernama Kolintanma Rosumbre.
Dia ikhlas mengajar kepada murid-muridnya yang berjumlah 15 orang dengan kondisi kelas seadanya dari kayu-kayu, 1 papan tulis, tidak ada meja guru, tidak ada meja bagi muridnya, murid-murid membawa kertas bekas untuk menulis, murid-muridnya pun tak berseragam, bahkan ada yang telanjang.“saya melihat mereka antusias untuk belajar itu sungguh luar biasa. Senang saya karena dengan keinginan dan tekadlah yang mampu mempercepat transformasi ilmu saya kepada mereka, walaupun kemampuan saya hanya bisa mengajari membaca menulis dan menghitung sederhana. Cerita guru lulusan SD ini.”
Saya merasa kasihan dan sedih melihat anak-anak di sini tidak merasakan pendidikan walaupun hanya membaca, menulis, dan berhitung karena dengan dasar itulah saya mengajar mereka agar bisa mentas dari kebutaan ilmu.”
“kalau bukan saya, lalu siapa lagi yang memberikan sedikit ilmu kepada mereka, meskipun saya hanya lulusan SD akan saya beri pula semngat untuk menjadi guru dan mengajar disini.”
Guru bijak dan sabar itu menghela nafas panjang.
“coba bayangkan saja akan menjadi apa bangsa ini bila tidak ada guru ?” ucap Rosumbre dengan mata berkaca-kaca dan tanapa alas kaki ini.
“harapan saya tidak banyak kepada pemerintah Indonesia ini, bersungguhlah dalam mencerdaskan bangsa ini karena itu kita mampu mengelola kekayaan alam kita secara mandiri.”
Itulah sekelumit curahan guru di daerah terpencil yang mengajar dari hati karena tuntutan nurani, bukan materi !

Sumber : Buku karya Endelweis Almira “GURU, hidupmu hanya untuk kami”

Rabu, 06 Juni 2012

Antisipasi Defek Moral Terhadap Penentuan Kriteria Calon Guru PPKn Dalam Pengembangan Moral Pancasila Yang Baik


BAB 1
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
            Kondisi moral bangsa Indonesia saat ini sudah mulai menghawatirkan. Banyak para remaja kita yang sebenarnya berfungsi sebagai tiang bangsa sudah mulai melupakan pentingnya moral dan justru malah kondisi moral mereka sudah mulai rusak. Mereka sudah mulai melupakan nilai,norma dan etika yang seharusnya benar-benar mereka jaga dan mereka pupuk.Kerusakan moral bangsa Indonesia bukan semata-mata salah pemerintah yang terlihat tidak memperdulikan masalah itu. Seolah-olah pemerintah hanya terfokus dalam menaikan mutu pendidikan melalui perbaikan-perbaikan standar nilai tidak melihat bagaimana kondisi moral peserta didik. Karena sesungguhnya tidak hanya intelektual saja yang harus dikembangkan namun moral juga harus ikut berkembang.
            Instansi sekolah seakan-akan hanya sebagai suatu hiasan saja, tidak ada sesuatu yang dihasilkan dari sekolah yang seharusnya sekolah juga turut serta dalam membentuk moral-moral anak didik yang selanjutnya akan menjadi generasi penerus bangsa.Tidaklah terlalu naif jika kita mengatakan bahwa pendidikan kita (Indonesia) adalah faktor utama dari keterpurukan moralitas. Harus diakui bahwa selama ini sistem pendidikan kita, khususnya pendidikan agama, masih sangat sedikit mengajarkan akhlak atau moralitas, atau hal tersebut hanya diajarkan sebagai sebuah wacana dan teori tanpa banyak menyentuh aspek afektif dan psikomotor. Bahkan tak jarang pendidikan kita minus keteladanan.
            Pendidikan Indonesia saat ini merupakan hasil dari kebijaksanaan politik pemerintah  Indonesia selama ini. Mulai dari pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. PendidikanIndonesiamasih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi materialisme-kapitalisme. Ideologi pendidikan yang demikian ini memang secara teoritis tidak nampak, akan tetapi secara praktis merupakan realitas yang tidak dapat dibantah lagi. Materialisasi atau proses menjadikan semua bernilai materi telah merusak di segala sendi sistem pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan PPKn. Sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya dalam materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah ke hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang diharapkan dari proses pendidikan tersebut.
            Akumulasi dari problem pendidikan yang tersebut diatas adalah, seringkali kita menyaksikan, mendengarkan, melihat atau bahkan melakukan perilaku-perilaku yang tidak bermoral. Misal, pencurian, pembunuhan, peemerkosaan, menjual diri (PSK), KKN, dan sejenisnya yang tiap harinya masih menempati tempat utama dimedia elektronik, media masa, dengan jumlah yang paling banyak.
            Sebagai calon Guru PPKn kita harus memberi contoh tentang perilaku moral yang baik sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu, dari pemaparan latar belakang diatas maka akan dibahas tentang “Antisipasi Defek Moral Terhadap Penentuan Kriteria Calon Guru PPKn Dalam Pengembangan Moral Pancasila Yang Baik”.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Defek Moral ?
2.      Bagaimana kriteria calon guru PPKn dalam pengembangan moral pancasila yang baik?
3.      Bagaimana cara mengantisipasi defek moral terhadap Penentuan Kriteria Calon Guru PPKn dalam Pengembangan Moral Pancasila yang baik?
C.     Tujuan penulisan Makalah
1.      Untuk mengetahui pengertian dari defek moral
2.      Untuk mengetahui kriteria calon guru PPKn dalam pengembangan moral Pancasila yang baik
3.      Untuk mengerahui cara mengantisipasi defek moral terhadap Penentuan Kriteria alon Guru PPKn dalam Pengembangan Moral Pancasila yang baik

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Defek Moral
            Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat dan kurang. Adapun Defisien/defek moral adalah kondisi individu yang hidupnya delinquent (nakal, jahat), selalu melakukan kejahatan, dan bertingkah laku a-sosial atau anti social; namun tanpa penyimpangan atau gangguan organic pada fungsi inteleknya, hanya saja inteleknya tidak berfungsi, sehingga terjadi kebekuan moral yang kronis.Sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Moralitas diartikan sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriyah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kejiwaan dan tanggung jawab dan bukan untuk mecari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih.
            Pribadinya cenderung psikotis dan mengalami regresi, dengan penyimpangan-penyimpangan relasi kemanusiaan. Sikap orang-orang yang defek mentalnya ialah dingin, beku, tanpa afeksi. Emosinya steril terhadap sesama manusia; munafik, jahat, sangat egoistis, self-centered, tidak menghargai orang lain. Tingkah-lakunya selalu salah dan jahat (misconduct); sering melakukan kekerasan, kejahatan, penyerangan. la selalu melanggar hukum, norma dan standar sosial.Kelemahannya terutama ialah ketidakmampuannya untuk mengenali, memahami, mengendalikan dan melakukan regulasi terhadap emosi-emosi, impuls-impuls dan tingkahlaku sendiri. Mereka itu tidak bisa dipercaya. Kualitas mental mereka pada umumnya rendah.Pembentukan egonya sangat lemah, sehingga dorongan-dorongan instinktif yang primer selalu meledak-ledak tidak terkendali. Impuls-impulsnya tetap ada pada tingkat primitif. la tidak bisa mengontrol diri, disertai agresivitas yang meledak-ledak dan rasa permusuhan terhadap siapa pun juga.Di antara penjahat-penjahat habitual dan recidivist yang defek moralnya itu, menurut statistik, lebih kurang 82% disebabkan oleh konstitusi disposisional dan perkembangan mental yang salah. Sedang lebih kurang 18% dari mereka menjadi penjahat disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan. Yang termasuk dalam kelompok defek moral ini ialah anak-anak bubrah dan anak-anak delinkuen (juvenile delinquency).
B.     Kriteria calon guru PPKn dalam pengembangan moral pancasila yang baik
            Guru PPKn sebagai suatu jabatan yang profesional seharusnya tidak dapat dipegang oleh sembarangan orang, sehingga hanya orang-orang tertentu yang memilki syarat yaitu mempunyai etika, moral yang baik,. Guru PPKn tidak lah sama dengan guru bidang studi yang lainnya, karena Calon Guru PPKn mempunyai beberapa kriteria yaitu :
a.       Mempunyai keyakinan terhadap kebenaran Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa maupun sebagai dasar NKRI
b.      Dapat mengembangkan nilai-nilai luhur pancasila dalam kehidupan tingkah laku sehari-hari
c.       Mempunyai kesadaran akan hak dan kewajiban , taat terhadap peraturan yang berlaku dan memilki budi pekerti yang luhur
d.      Mengetahui pengetahuan yang benar mengenai Pancasila,  UUD 1945, dan GBHN
            Kriteria calon guru PPKn dalam pengembangan moral pancasila yang baik sangat meentukan dalam pembentukan kepribadian bangsa, hal ini sangat penting mengingat siswa adalah generasi muda yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa. Meningkatnya ketertiban, kedisiplinan dan sikap kesopanan siswa pada umumnya menunjukkan keberhasilan dalam upaya tersebut.
C.     Cara mengantisipasi defek moral terhadap Penentuan Kriteria Calon Guru PPKn dalam Pengembangan Moral Pancasila yang baik
            Sebagai calon guru PPKn tentunya kita harus mampu mengantisipasi defek moral yang mampu menggangu pengembangan moral Pancasila. Cara yang dapat kita tempuh yaitu dengan Pemberian pendidikan moral.
a.       Pendidikan moral dapat dilakukan dengan memantapkan pelaksanaan pendidikan PPKn. Karena nilai-nilai dan ajaran PPKn pada akhirnya ditujukan untuk membentuk moral yang baik.
b.      Pendidikan moral dapat dilakukan dengan pendekatan yang bersifat integrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Pendidikan moral bukan hanya terdapat dalam pendidikan agama saja, melainkan juga terdapat pada pelajaran bahasa, matematika, fisika, biologi, sejarah dan sebagainya.
c.       Sejalan dengan cara yang kedua tersebut di atas, pendidikan moral harus melibatkan seluruh guru. Pendidikan moral bukan hanya menjadi tanggung jawab guru PPKn seperti yang selama ini ditentukan, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh guru.
d.      Pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Orang tua di rumah harus meningkatkan perhatiannya terhadap anak-anaknya, dengan meluangkan waktu untuk memberi bimbingan, teladan dan pembiasaan yang baik. Sekolah juga harus berupaya menciptakan lingkungan yang bernuansa religius, seperti membiasakan solat berjama’ah, menegakkan disiplin dalam kebersihan, ketertiban, kejujuran, tolong-menolong, sehingga nilai-nilai agama menjadi kebiasaan, tradisi atau budaya seluruh siswa. Kemudian, sikap dan perilaku guru yang kurang dapat diteladani atau menyimpang hendaknya tidak segan-segan diambil tindakan. Sementara itu, masyarakat juga harus berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan akhlak, seperti membiasakan solat berjama’ah, gotong royong, kerja bakti, memelihara ketertiban dan kebersihan, menjauhi hal-hal yang dapat merusak moral, dan sebagainya.
e.       Pendidikan moral harus menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk teknologi modern. Kesempatan berkreasi, pameran, kunjungan, berkemah dan sebagainya, harus digunakan sebagai peluang untuk membina moral.
f.       Pembinaan moral pada anak bukan dengan cara menyuruh anak menghafalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak kecil. Namun, moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Misalnya, seorang anak dibiasakan makan, minum, tidur, berjalan, berbicara, dan berhubungan dengan orang lain, sesuai ketentuan agama. Selanjutnya dibiasakan juga bersikap jujur, adil, konsekuen, ikhlas, pemaaf, sabar, berbaik sangka dan sebagainya dalam berbagai aspek kehidupan.
            Dengan demikian, pembinaan moral memang sangatlah penting. Pendidikan moral harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan di bidang pendidikan negeri ini. Sehingga, Indonesia tidak hanya mencetak generasi-generasi yang pintar saja, tetapi juga bermoral, beradab dan memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Defek moral adalah kondisi individu yang hidupnya delinquent (nakal, jahat), selalu melakukan kejahatan, dan bertingkah laku a-sosial atau anti social; namun tanpa penyimpangan atau gangguan organic pada fungsi inteleknya, hanya saja inteleknya tidak berfungsi, sehingga terjadi kebekuan moral yang kronis. Oleh karena itu sebagai calon guru PPKn untuk mengatasi hal tersebut,  pendidikan moral saat ini menjadi salah satu cara dalam membenahi moral-moral bangsa yang kian rusak setelah dahulu pada waktu orde baru sudah dijadikan alat untuk membentuk moral masyarakat. Keberhasilan pendidikan moral dalam membenahi kerusakan moral tergantung pada pihak-pihak yang menjalankan. Dengan demikian, pembinaan moral memang sangatlah penting. Pendidikan moral harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan di bidang pendidikan negeri ini. Sehingga, Indonesia tidak hanya mencetak generasi-generasi yang pintar saja, tetapi juga bermoral, beradab dan memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini.
B.     Saran
            Sebagai calon guru PPKn segala tingkah laku dan perbuatannya adalah sebagai suri tauladan, maka hendaknya dalam bertingkah laku sehari-hari mampu mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Serta harus ada campur tangan Pemerintah dalam mengawasi pelaksanaan pendidikan moral sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal. Pengawasan bukan hanya pada pelaksanaan namun pada tenaga pendidik juga apabila terdapat tenaga pengajar yang tidak sesuai dengan pelaksanaan maka herus diberi sanksi yang tegas.

 DAFTAR PUSTAKA

Agust hutabarat, Peran KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. 6 Januari 2009 •
Andi Hamzah, Pemberantasan. Korupsi 2005 buku KPK ‘Mengenali dan Memberantas Korupsi’

Kamis, 03 Mei 2012

KASUS DAN ASAS HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN

1.      Lex superior derogat legi inferiori.
Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah
Contoh kasus : Kasus Bank Global Tbk.
Dalam kasus ini, pengurus dan sekaligus pemilik bank tersebut melakukan praktik tidak patut yang dilakukan oleh seorang bankir (Neloe CS) dan merupakan tindakan kriminal dari kacamata hukum. Serangkaian praktik memelukan dan berbau kriminal telah terjadi pada bank tersebut. Mulai dari tidak bersedia memberikan dokumen dan tidak mau memberikan keterangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas perbankan, berupaya memusnahkan dokumen sampai menerbitkan surat berharga fiktif.
Putusan Pengadilan Negeri NO. 2068/PIDANA BIASA/2005/PN JAKARTA SELATAN, membebaskan Neloe, CS karena tidak terbukti melakukan perbuatan korupsi dan Putusan Mahkamah Agung Indonesia No. 1144 K/Pid/2006 yang kemudian menghukum Neloe CS dengan hokuman 10 Tahun Penjara, karena terbukti perbuatan terpidana telah melanggar Undang-undang Korupsi.
Dari kasus diatas dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung telah mengabaikan dan melanggar doktrin specialite sistematische. Dengan keputusan ini Mahkamah Agung telah menyatakan diri secara tegas bahwa undang-undang Perbankan sebagai undang yang bersifat umum, sedangkan undang-undang korupsi merupakan ketentuan yang lebih khusus. Dari hal tersebut diatas, dalam kasus Neloe, penerapan hukum tindak pidana perbankan sebagai tindak pidana korupsi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia telah melanggar ketentuan sistematische specialite sebagai secondary rules yang harusnya dipatuhi. Akibat putusan ini, Mahkamah Agung telah berkontribusi mendeligitimasi undang-undang perbankan, karena putusan ini berimplikasi terhadap habisnya kepentingan-kepentingan hukum yang ingin dilindungi oleh undang-undang perbankan .
Seharusnya MA menjerat terdakwa dengan UU Perbankan, karena aturan hukum memuat asas lex specialis derogate legi generali. Jadi bisa dikatakan UU Perbankan merupakan ketentuan yang lebih khusus sedangkan UU Korupsi merupakan ketentuan yang lebih umum, bukan sebaliknya.

2.      Lex specialis derogat legi generalis
Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan menggesampingkan aturan hukum yang umum.
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis:  
a.        Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
b.       Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang).
c.       Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
Contoh Kasus :
a.      kasus yang menarik untuk dibahas adalah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000, pada pasal 46 UU Nomor 26 Tahun 2000 berbunyi “Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa”. Tentunya bertentangan dengan pasal 28 i UUD NRI 1945 yang berbunyi ”...dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pertentangan seperti ini tentunya tidak lagi menggunakan asas lex specialis derogat legi generale melainkan asas lex superior derogat legi inferiori karena kedua peraturan tersebut secara hierarki tidak sederajat, jadi yang harus ditaati adalah pasal 28 i UUD NRI 1945. Jadi solusinya untuk penegakan hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum adanya UU pengadilan HAM tersebut tentunya diselesaikan dengan menggunakan ketentuan umum yang ada dalam KUHP yang berkaitan dengan kasus tersebut. Dan sangat ironis jika dalam kasus seperti ini masih ada yang memaksakan untuk menjerat dengan UU pengadilan HAM tanpa memperhatikan peluang seorang pelaku dapat dibebaskan karena kesalahan seperti ini dan sangatlah sulit untuk menjerat kembali dengan dakwaan yang berbeda terhadap kasus yang sama karena kita menganut asas ne bis ni idem.
b.      kasus yang tidak asing lagi dalam masyarakat adalah tindak pidana korupsi, untuk kasus yang terjadi setelah UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentunya diselesaikan menurut UU tersebut bukan lagi ketentuan umum yang ada dalam KUHP dengan dasar asas lex specialis derogat legi generale. Tetapi untuk kasus tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU tindak pidana korupsi tersebut yang digunakan untuk menyelesaikannya bukan lagi UU tindak pidana korupsi sekalipun ada ketentuan dalam UU tersebut yang menyatakan UU ini berlaku surut, dengan dasar asas legalitas maka ketentuan tersebut tidak dapat digunakan, bukan berarti tidak dapat diadili atau dibiarkan begitu saja, melainkan digunakan ketentuan umum yang ada dalam KUHP yang berkaitan dengan kasus tersebut jadi tidak ada alasan untuk tidak dapat menjerat seorang koruptor jika para penegak hukum memang memiliki komitmen untuk menegakkan hukum.

3.      Asas lex posterior derogat legi priori.
Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru.
Asas ini pun memuat prinsip-prinsip :
a.       Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama;
b.      Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama.
Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dengan adanya Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting. Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku.
            Contoh Kasus :
Dilematis permasalah menjadi semakin bertambah karena berselang satu bulan, muncul Keputusan Menhut No. 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Yang menarik bahwa Keputusan Menteri yang belakangan secara materiil meralat substansi Keputusan Menhut No. 175. Hal ini sebagaimana suatu azas bahwa hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama dalam materi yang sama. Dengan berlakunya keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003 secara materiil bahwa Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 menjadi gugur, sehingga kedudukan pihak ke III yang telah memperoleh ijin tidak berpengaruh. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, hukum yang dinyatakan ugur atau batal demi hukum tidak dengan sendirinya berlaku sebagaimana mestinya. Sebagai contoh PERDA-PERDA yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan, adalah batal demi hukum, namun PERDA tersebut tidak serta merta gugur, melainkan tetap dimintakan pembatalannya, itupun daerah ada yang tidak mau melaksanakan.
Berdasarkan azas ini bahwa yang berlaku secara hukum adalah keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003 itu artinya usaha-usaha pelestarian dan konservatif kawasan menjadi mundur. Usaha peningkatan fungsi terutama dari hutan produksi menjadi kawasan konservasi merupakan kebijakan antisipatif, karena kita tahu istilah degradasi, deforestasi kawasan hutan baik secara legal (HPHTI, kebun sawit) dan illegal (penebangan liar, perambahan) sudah merupakan isu nasional yang menghiasi media sehari-hari baik media tertulis maupun elektronik. Namun hingga saat ini belum mampu di atasi secara komperhensif. Untuk itu diperlukan langkah-langkah mendesak terhadap konsevasi, rehabilitsi dan atau reklamasi. Kawasan produksi dan lindung rentan terhadap tekanan eksternal/usaha-usaha ekonomisasi dari pemilik modal besar, bersamaan dengan itu kita sering berada pada posisi yang lemah.
Kedua azas hukum yang telah dijelaskan di atas dimaksudkan untuk menjaga kepastian hukum, dalam kasus ini bagi pihak perusahaan menyangkut akan kepastian lahan dan kepastian usaha. Di Negara kita kepastian hukum merupakan variabel yang sangat dikeluhkan oleh dunia investor. Keadaan tersebut dapat diketahui setiap kali Kepala Negara betemu dengan pengusaha asing, statement awal yang diperlukan adalah kepastian hukum.

4.      Asas Undang-Undang Tidak Berlaku Surut (Nullum delictum sine praevia lege poenali)
Seandainya seseorang melakukan suatu tindak pidana yang baru kemudian hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan pidana, pelaku tdk dapat dipidana atas ketentuan yang baru itu. Hal ini untuk menjamin warga negara dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
Contoh kasus :
Permohonan  yang diajukan oleh Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kupang Anthon Melkianus Natun dinyatakan ditolak untuk seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pembacaan putusan dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi di Ruang Sidang Pleno MK.  “Menyatakan dalam Provisi,  menolak permohonan provisi Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Mahfud membacakan Putusan Nomor 21/PUU-IX/2011 tersebut.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 tersebut multitafsir sehingga bertentangan dengan asas kepastian hukum dan asas non-retroactive (larangan berlaku surut) serta tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menyatakan bahwa   Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 yang menentukan bahwa Pimpinan DPRD berasal dari partai politik (Parpol) berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota, menurut Mahkamah maksudnya sudah jelas dan terang, tidak dapat ditafsirkan lain“Mahkamah menilai ketentuan tersebut sama sekali tidak melanggar asas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi pimpinan DPRD yang telah ditetapkan sebagai pimpinan yang kemudian karena terjadi pemekaran sebagai aspirasi dari rakyat yang berdaulat, harus berakhir jabatannya sebagai pimpinan karena urutan perolehan kursi Parpolnya menjadi berkurang. Kepastian hukum dari peraturan tersebut justru terletak pada ketentuan bahwa jikalau urutan perolehan kursi Parpol berubah berhubung dengan pemekaran daerah, atas aspirasi rakyat yang berdaulat, maka komposisi jabatan pimpinan harus juga berubah,” jelas Fadlil.
Menurut Mahkamah, lanjut Fadlil, ketentuan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 justru sesuai dengan kepastian hukum yang adil, sekaligus perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan a quo, sambung Fadlil menyebutkan bahwa parpol yang sebelum pemekaran daerah urutan perolehan kursinya kurang dari Parpol lainnya tetapi kemudian sebab adanya pemekaran daerah urutan perolehan kursinya menjadi lebih banyak berhak menduduki jabatan pimpinan DPRD. “Sebaliknya Parpol yang urutan perolehan kursinya menjadi berkurang dan tidak lagi menempati urutan perolehan kursi terbanyak harus diberhentikan dari jabatan pimpinan DPRD. Hal tersebut bersesuaian pula dengan ketentuan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang memberikan kepada  setiap warga negara kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” urainya.
Sementara itu, mengenai dalil Pemohon bahwa Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, khususnya hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Menurut Mahkamah seperti yang diungkapkan Hakim Konstitusi Muhammad Alim, dalam hal pemberhentian pimpinan DPRD yang sebelumnya urutan perolehan kursi Parpolnya terbanyak karena pemekaran daerah, makna kata-kata “tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut” adalah berlaku mutlak di bidang hukum pidana karena hal itu bertentangan dengan asas legalitas. “Adapun dalam hubungan dengan permohonan Pemohon, pemberhentian dari jabatan, bukan dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, melainkan berdasarkan perubahan urutan perolehan kursi Parpol Pemohon karena adanya perpindahan kursi anggota DPRD Parpol Pemohon sehingga perolehan kursi Parpol Pemohon tidak lagi menempati urutan terbanyak,” ujar Alim.
Alim menambahkan semua anggota DPRD, mewakili para pemilih yang memilih mereka. Jikalau para pemilih yang berdaulat sudah tidak lagi termasuk dalam wilayah daerah induk, melainkan telah termasuk dalam wilayah daerah pemekaran, maka anggota DPRD yang masih tetap di wilayah daerah induk sudah tidak mewakili Pemilih yang sudah termasuk wilayah daerah pemekaran. “Dengan demikian, setiap ada pemekaran daerah dan ada pemindahan kursi DPRD ke daerah pemekaran akan mengubah konfigurasi dukungan pemilih yang berdaulat kepada Parpol tertentu. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Alim.
Dalam putusan tersebut, terdapat tiga hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, dan  Anwar Usman. Ketiganya menyatakan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 adalah inkonstitusional bersyarat  (conditionally unconstitutional),  yaitu inkonstitusional sepanjang tidak ditafsirkan:  “komposisi pimpinan DPRD tidak berubah walaupun terjadi perubahan komposisi jumlah kursi masing-masing partai politik akibat pengisian anggota DPRD daerah pemekaran dari kabupaten/kota yang terjadi setelah penetapan pimpinan DPRD kabupaten/kota induk berdasarkan hasil pemilihan umum”.
Dari berbagai ketentuan, jelas Hamdan, hukum memberi jaminan masa jabatan pimpinan DPRD adalah lima tahun dan tidak ada mekanisme untuk memberhentikannya di tengah masa jabatan kecuali berdasarkan ketentuan Pasal 42 PP 16/2010.  Oleh karena itu, alasan yang digunakan untuk mengganti posisi salah satu pimpinan DPRD Kabupaten Kupang yang dijabat oleh Pemohon dengan alasan jumlah kursi Partai HANURA berkurang setelah pengalihan sebagian anggota ke DPRD Kabupaten Sabu Raijua akibat pengisian anggota DPRD di daerah pemekaran adalah tidak adil bagi Pemohon karena menyalahi ketentuan mengenai alasan-alasan pemberhentian pimpinan DPRD di tengah masa jabatan.
Hamdan mengemukakan tidak ada satupun mekanisme hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk memberhentikan pimpinan DPRD karena perubahan komposisi jumlah kursi akibat pemekaran daerah, sehingga hukum harus memberi jaminan bagi seseorang yang sudah diangkat menjadi pimpinan DPRD untuk masa jabatan lima tahun dan tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya tanpa alasan yang sudah diatur dengan jelas. 
Mekanisme penentuan pimpinan DPRD bukanlah persoalan konstitusional, tetapi persoalan  legal policy dan politik hukum pembentuk Undang-Undang. “Artinya, apakah pimpinan DPRD ditentukan berdasarkan peringkat perolehan kursi partai politik ataukah peringkat jumlah kursi di DPRD atau pemilihan oleh anggota DPRD hanyalah cara dan pilihan politik semata-mata dan bukan persoalan konstitusi. Oleh karena itu, dalam kasus ini persoalan legal policy tidak boleh mengorbankan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh konstitusi  in casu hak seseorang yang telah diangkat untuk menduduki jabatan pimpinan DPRD selama 5 tahun yang telah dijamin oleh hukum yang telah ada sebelumnya.  Oleh karena itu, untuk mencegah pelanggaran prinsip kepastian hukum yang adil  yang dijamin konstitusi, maka penafsiran Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 tersebut perlu dibatasi dan ditegaskan oleh Mahkamah.