My Inspiration ^^
Minggu, 14 April 2013
Membangun Pendidikan Berkarakter
Pengumuman kelulusan ujian nasional (UN) selalu menghadirkan dua sisi emosional yang sangat kontras. Di satu sisi, hampir sebagian besar pelajar yang mendapatkan kelulusan terutama di kota besar merayakannya dengan sukaria dan hura-hura berlebihan. Mulai konvoi kendaraan beramai-ramai hingga mencoret-coret baju seragam.
DI lain pihak, para pelajar yang tidak lulus menangis sejadi-jadinya, hingga tak jarang kita dapatkan berita percobaan bunuh diri karena frustrasi. Dua sisi perilaku pelajar kita seperti ini sangat disayangkan. Dunia pendidikan seharusnya jauh dari bingkai kejadian seperti di atas. Semestinya pendidikan mampu menciptakan karakter pelajar dengan pemikiran logis dan mampu membentuk insan-insan terdidik dengan emosi cerdas.
Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan jelas disebutkan sebuah alasan dibentuknya sebuah pemerintahan negara Indonesia yaitu "Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa"
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cerdas itu bermakna sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dan lainnya); tajam pikiran. Di sini jelas, ada dua elemen yang disebutkan yaitu akal dan budi.
Akal tentu merujuk pada hal intelektualitas. Sedangkan budi merujuk perilaku, moral, dan karakter. Bahkan terkait pendidikan ini, amandemen keempat UUD 1945 lebih spesifik menjelaskan dalam bab 13 pasal 31 ayat 3: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang".
Sangat jelas cita-cita dan semangat UUD atas pendidikan kita. Yakni bukan sekadar pembentukan intelektualitas semata. Tapi juga budi pekerti luhur-akhlak mulia. Namun dalam taraf pelaksanaannya ada yang salah. Sehingga, pendidikan kita kehilangan orientasi yang seharusnya. Tetapi hanya sebatas output hasil semata berupa angka-angka.
Orientasi yang salah inilah menjadikan bangsa kita tidak kunjung bangkit dari keterpurukan permasalahan. Penyakit akut kemiskinan dan korupsi terus menggelayuti masa depan bangsa kita. Sebab, pendidikan kita terjebak dalam orientasi pragmatis sehingga tergiur untuk mencapai tujuan dengan cara-cara praktis.
Kecerdasan intelektual diraih namun mental para anak bangsa kering dan hampa tanpa karakter. Erie Sudewo dalam bukunya Character Building (2011) secara gamblang menggambarkan betapa pentingnya elemen karakter. Ia menyatakan "Tanpa karakter, manusia pun bisa unggul dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Namun semakin dia cerdas, semakin tinggi kedudukannya, dan semakin kaya, maka semakin jahatlah dirinya. Sebab orang yang unggul tanpa karakter, yang muncul adalah tabiatnya. Sifat-sifat buruknya sebagai perilaku sehari-hari".
Selama ini sekolah formal semacam SMP dan SMA selalu menjadi tujuan utama orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sedangkan sekolah-sekolah nonformal semacam asrama dan pondok pesantren selalu menjadi pilihan terakhir. Dengan alasan-alasan yang cukup lumrah dan manusiawi, pondok pesantren mendapatkan predikat sebagai sebuah lembaga pendidikan yang kolot, kumuh, dan jauh dari kemajuan jaman.
Ada berbagai kelebihan dan kekurangan yang masing-masing dimiliki oleh sekolah nonformal dan pondok pesantren. Sekolah formal cenderung menghasilkan lulusan-lulusan yang melek terhadap dunia luar dan memiliki output intelektualitas yang lebih, namun cenderung hampa karakter.
Sebaliknya, alumni pondok pesantren cenderung memiliki karakter yang kuat, namun gagap terhadap perkembangan dunia luar, dan kemampuan intelektualitasnya di bawah sekolah formal. Dan, kenyataannya adalah selama ini sekolah formal tidak mampu mengemban tugas untuk memberikan kebutuhan pendidikan karakter kepada para pelajar.
Mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan pun semakin tahun kian berkurang porsinya. Hal yang semakin membuat miris adalah selain asupan mata pelajaran tersebut semakin sedikit, para pendidik pun tak mampu menerapkan nilai-nilai moral dalam setiap interaksi nyata terutama pada pertemuan-pertemuannya di kelas.
Setiap pertemuan di kelas para guru cenderung hanya sekadar menunaikan kewajiban menyampaikan materi dan abai terhadap nilai. Setelah selesai menyampaikan mata pelajaran, maka interaksi antara guru dan murid pun berakhir sampai saat itu juga. Proses pembangunan emosional antara guru-murid nyaris tak ada. Padahal proses pembentukan emosional dan pembentukan karakter hanya bisa dilakukan melalui interaksi masif yang bukan sekadar basa-basi. Hal inilah yang justru ada di dunia pondok pesantren.
Perkara teknis pengimplementasian amanat UUD inilah yang seharusnya ditekankan oleh pemerintah terutama Kementerian Pendidikan. Pemerintah harus mampu menggabungkan metode pembelajaran antara pendidikan nonformal pondok pesantren dengan pendidikan formal modern.
Sehingga, pendidikan kita tidak hanya sekadar penanaman intelektualitas semata. Tetapi juga penanaman karakter. Dengan begitu, kenakalan-kenakalan pelajar bisa segera terhapus dan tumbuhlah pelajar-pelajar yang cerdas nan santun.
Guru Tua Yang Terbuang
Konon dulu pernah ada tradisi membuang guru yang sudah
tua ke hutan belantara. Mereka yang dibuang adalah guru yang sudah tidak
berdaya untuk mendidik murid-muridnya.
Pada suatu ahri ada seorang murid yang berniat membuang
gurunya ke hutan, karena si guru telah lumpuh dan agak pikun. Si murid tampak
bergegas menyusuri hutan sambil menggendong gurunya. Si guru yang kelihatan tak
berdaya berusaha menggapai setiap ranting pohon yang bisa diraihnya lalu
mematahkannya dan menaburkannya di sepanjang jalan yang mereka lalui.
Sesampai di dalam hutan yang sangat lebat, si murid
meurunkan guru tersebut dan mengucapkan kata perpisahan sambil berusaha menahan
sedih karena ternyata dia tidak meyangka tega melakukan perbuatan ini terhadap
gurunya itu.
Justru si guru yang tampak tegar, dalam senyumnya dia
berkata :
“Muridku, aku sangat menyanyangimu. Sejak kau kecil
sampai dewasa aku selalu mendidikmu dengan segenap cintaku. Bahkan sampai hari
ini rasa sayangku tidak berkurang sedikit pun. Tadi aku sudah menandai
sepanjang jalan yang kita lalui dengan ranting-ranting kayu. Aku takut kau
tersesat, ikutilah tanda itu agar kau selamat sampai dirumah.”
Setelah mendengar kata-kata tersebut, si murid menangis
dengan sangat keras, kemudian langsung memeluk gurunya dan kembali
menggendongnya untuk membawa gurunya pulang kerumah. Murid tersebut akhirnya
merawat gurunya dan sangat mengasihinya sampai gurunya meninggal.
Jadi pelajaran yang bisa kita petik dari cerita diatas
adalah “ Guru bukan barang rongsokan yang bisa dibuang atau diabaikan
setelah terlihat tidak berdaya. Bagaimanapun Guru adalah peletak dasar
kesuksesan Murid.
Sumber : Buku karya Endelweis Almira
“GURU, hidupmu hanya untuk kami”
Kalau Bukan Saya, Siapa lagi ??
Apakah sudah merata pendidikan ke
pelosok=pelosok negeri Indonesia yang memang kekayaan alam laur biasa melimpah
? jauh dari layak, mulai dari kelas seperti kandang ayam, genting dan atap
kelas yang rusak berlubang dan bila hujan datang kegiatan belajar harus
berhenti. Belum lagi kesejahteraan guru terpencil dan peningkatan pendidikan
dari tenaga guru itu sendiri tiada tergapai pula.
Bagaimana mau pintar dan cerdas
bangsa kita ini bila pendidikannya tidak merata? Ada kisah menyentuh seorang
guru yang berada di tanah Papua daerah kaki gunung Jayawijaya Papua lulusan SD
bernama Kolintanma Rosumbre.
Dia ikhlas mengajar kepada
murid-muridnya yang berjumlah 15 orang dengan kondisi kelas seadanya dari
kayu-kayu, 1 papan tulis, tidak ada meja guru, tidak ada meja bagi muridnya,
murid-murid membawa kertas bekas untuk menulis, murid-muridnya pun tak
berseragam, bahkan ada yang telanjang.“saya melihat mereka antusias untuk
belajar itu sungguh luar biasa. Senang saya karena dengan keinginan dan
tekadlah yang mampu mempercepat transformasi ilmu saya kepada mereka, walaupun
kemampuan saya hanya bisa mengajari membaca menulis dan menghitung sederhana.
Cerita guru lulusan SD ini.”
Saya merasa kasihan dan sedih
melihat anak-anak di sini tidak merasakan pendidikan walaupun hanya membaca,
menulis, dan berhitung karena dengan dasar itulah saya mengajar mereka agar
bisa mentas dari kebutaan ilmu.”
“kalau bukan saya, lalu siapa lagi yang memberikan
sedikit ilmu kepada mereka, meskipun saya hanya lulusan SD akan saya beri pula
semngat untuk menjadi guru dan mengajar disini.”
Guru bijak dan sabar itu menghela nafas panjang.
“coba bayangkan saja akan menjadi apa bangsa ini bila
tidak ada guru ?” ucap Rosumbre dengan mata berkaca-kaca dan tanapa alas kaki
ini.
“harapan saya tidak banyak kepada pemerintah Indonesia
ini, bersungguhlah dalam mencerdaskan bangsa ini karena itu kita mampu
mengelola kekayaan alam kita secara mandiri.”
Itulah
sekelumit curahan guru di daerah terpencil yang mengajar dari hati karena
tuntutan nurani, bukan materi !
Sumber : Buku karya Endelweis Almira
“GURU, hidupmu hanya untuk kami”
Rabu, 06 Juni 2012
Antisipasi Defek Moral Terhadap Penentuan Kriteria Calon Guru PPKn Dalam Pengembangan Moral Pancasila Yang Baik
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kondisi
moral bangsa Indonesia saat ini sudah mulai menghawatirkan. Banyak para remaja
kita yang sebenarnya berfungsi sebagai tiang bangsa sudah mulai melupakan
pentingnya moral dan justru malah kondisi moral mereka sudah mulai rusak.
Mereka sudah mulai melupakan nilai,norma dan etika yang seharusnya benar-benar
mereka jaga dan mereka pupuk.Kerusakan moral bangsa Indonesia bukan semata-mata
salah pemerintah yang terlihat tidak memperdulikan masalah itu. Seolah-olah
pemerintah hanya terfokus dalam menaikan mutu pendidikan melalui
perbaikan-perbaikan standar nilai tidak melihat bagaimana kondisi moral peserta
didik. Karena sesungguhnya tidak hanya intelektual saja yang harus dikembangkan
namun moral juga harus ikut berkembang.
Instansi
sekolah seakan-akan hanya sebagai suatu hiasan saja, tidak ada sesuatu yang
dihasilkan dari sekolah yang seharusnya sekolah juga turut serta dalam
membentuk moral-moral anak didik yang selanjutnya akan menjadi generasi penerus
bangsa.Tidaklah
terlalu naif jika kita mengatakan bahwa pendidikan kita (Indonesia) adalah
faktor utama dari keterpurukan moralitas. Harus diakui bahwa selama ini sistem
pendidikan kita, khususnya pendidikan agama, masih sangat sedikit mengajarkan
akhlak atau moralitas, atau hal tersebut hanya diajarkan sebagai sebuah wacana
dan teori tanpa banyak menyentuh aspek afektif dan psikomotor. Bahkan tak
jarang pendidikan kita minus keteladanan.
Pendidikan
Indonesia saat ini merupakan hasil dari kebijaksanaan politik pemerintah Indonesia selama ini. Mulai dari pemerintahan
Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. PendidikanIndonesiamasih mementingkan
pendidikan yang bersifat dan berideologi materialisme-kapitalisme. Ideologi
pendidikan yang demikian ini memang secara teoritis tidak nampak, akan tetapi
secara praktis merupakan realitas yang tidak dapat dibantah lagi. Materialisasi
atau proses menjadikan semua bernilai materi telah merusak di segala sendi
sistem pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan PPKn. Sendi-sendi yang dimasuki
bukan hanya dalam materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen,
lingkungan, akan tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan
pendidikan telah mengarah ke hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang
diharapkan dari proses pendidikan tersebut.
Akumulasi
dari problem pendidikan yang tersebut diatas adalah, seringkali kita
menyaksikan, mendengarkan, melihat atau bahkan melakukan perilaku-perilaku yang
tidak bermoral. Misal, pencurian, pembunuhan, peemerkosaan, menjual diri (PSK),
KKN, dan sejenisnya yang tiap harinya masih menempati tempat utama dimedia
elektronik, media masa, dengan jumlah yang paling banyak.
Sebagai
calon Guru PPKn kita harus memberi contoh tentang perilaku moral yang baik
sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu, dari pemaparan latar belakang diatas
maka akan dibahas tentang “Antisipasi
Defek Moral Terhadap Penentuan Kriteria Calon Guru PPKn Dalam Pengembangan
Moral Pancasila Yang Baik”.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Defek Moral ?
2.
Bagaimana kriteria calon guru PPKn dalam
pengembangan moral pancasila yang baik?
3.
Bagaimana cara mengantisipasi defek
moral terhadap Penentuan Kriteria Calon
Guru PPKn dalam Pengembangan Moral Pancasila yang baik?
C. Tujuan
penulisan Makalah
1.
Untuk mengetahui pengertian dari defek
moral
2.
Untuk mengetahui kriteria calon guru
PPKn dalam pengembangan moral Pancasila yang baik
3.
Untuk mengerahui cara mengantisipasi
defek moral terhadap Penentuan
Kriteria alon Guru PPKn dalam Pengembangan Moral Pancasila yang baik
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Definisi
Defek Moral
Defek
(defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat dan
kurang. Adapun Defisien/defek
moral adalah kondisi individu yang hidupnya delinquent (nakal,
jahat), selalu melakukan kejahatan, dan bertingkah laku
a-sosial atau anti social; namun tanpa penyimpangan atau gangguan organic pada
fungsi inteleknya, hanya saja inteleknya tidak berfungsi, sehingga terjadi
kebekuan moral yang kronis.Sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas.
Moralitas diartikan sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan
lahiriyah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia
sadar akan kejiwaan dan tanggung jawab dan bukan untuk mecari keuntungan. Jadi
moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih.
Pribadinya
cenderung psikotis dan mengalami regresi, dengan penyimpangan-penyimpangan
relasi kemanusiaan. Sikap orang-orang yang defek mentalnya ialah dingin, beku,
tanpa afeksi. Emosinya steril terhadap sesama manusia; munafik, jahat, sangat
egoistis, self-centered, tidak menghargai orang lain. Tingkah-lakunya selalu
salah dan jahat (misconduct); sering melakukan kekerasan, kejahatan,
penyerangan. la selalu melanggar hukum, norma dan standar sosial.Kelemahannya
terutama ialah ketidakmampuannya untuk mengenali, memahami, mengendalikan dan
melakukan regulasi terhadap emosi-emosi, impuls-impuls dan tingkahlaku sendiri.
Mereka itu tidak bisa dipercaya. Kualitas mental mereka pada umumnya
rendah.Pembentukan egonya sangat lemah, sehingga dorongan-dorongan instinktif
yang primer selalu meledak-ledak tidak terkendali. Impuls-impulsnya tetap ada
pada tingkat primitif. la tidak bisa mengontrol diri, disertai agresivitas yang
meledak-ledak dan rasa permusuhan terhadap siapa pun juga.Di antara penjahat-penjahat
habitual dan recidivist yang defek moralnya itu, menurut statistik, lebih
kurang 82% disebabkan oleh konstitusi disposisional dan perkembangan mental
yang salah. Sedang lebih kurang 18% dari mereka menjadi penjahat disebabkan
oleh faktor-faktor lingkungan. Yang termasuk dalam kelompok defek moral ini
ialah anak-anak bubrah dan anak-anak delinkuen (juvenile delinquency).
B. Kriteria
calon guru PPKn dalam pengembangan moral pancasila yang baik
Guru
PPKn sebagai suatu jabatan yang profesional seharusnya tidak dapat dipegang
oleh sembarangan orang, sehingga hanya orang-orang tertentu yang memilki syarat
yaitu mempunyai etika, moral yang baik,. Guru PPKn tidak lah sama dengan guru
bidang studi yang lainnya, karena Calon Guru PPKn mempunyai beberapa kriteria yaitu
:
a. Mempunyai
keyakinan terhadap kebenaran Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa maupun
sebagai dasar NKRI
b. Dapat
mengembangkan nilai-nilai luhur pancasila dalam kehidupan tingkah laku
sehari-hari
c. Mempunyai
kesadaran akan hak dan kewajiban , taat terhadap peraturan yang berlaku dan
memilki budi pekerti yang luhur
d. Mengetahui
pengetahuan yang benar mengenai Pancasila,
UUD 1945, dan GBHN
Kriteria
calon guru PPKn dalam pengembangan moral pancasila yang baik sangat meentukan
dalam pembentukan kepribadian bangsa, hal ini sangat penting mengingat siswa
adalah generasi muda yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa.
Meningkatnya ketertiban, kedisiplinan dan sikap kesopanan siswa pada umumnya
menunjukkan keberhasilan dalam upaya tersebut.
C. Cara
mengantisipasi defek moral terhadap
Penentuan Kriteria Calon Guru PPKn dalam Pengembangan Moral Pancasila yang baik
Sebagai
calon guru PPKn tentunya kita harus mampu mengantisipasi defek moral yang mampu
menggangu pengembangan moral Pancasila. Cara yang dapat kita tempuh yaitu
dengan Pemberian pendidikan moral.
a. Pendidikan
moral dapat dilakukan dengan memantapkan pelaksanaan pendidikan PPKn. Karena
nilai-nilai dan ajaran PPKn pada akhirnya ditujukan untuk membentuk moral yang
baik.
b. Pendidikan
moral dapat dilakukan dengan pendekatan yang bersifat integrated, yaitu dengan
melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Pendidikan moral bukan hanya
terdapat dalam pendidikan agama saja, melainkan juga terdapat pada pelajaran
bahasa, matematika, fisika, biologi, sejarah dan sebagainya.
c. Sejalan
dengan cara yang kedua tersebut di atas, pendidikan moral harus melibatkan
seluruh guru. Pendidikan moral bukan hanya menjadi tanggung jawab guru PPKn
seperti yang selama ini ditentukan, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh
guru.
d. Pendidikan
moral harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan usaha yang
sungguh-sungguh dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Orang tua di rumah harus
meningkatkan perhatiannya terhadap anak-anaknya, dengan meluangkan waktu untuk
memberi bimbingan, teladan dan pembiasaan yang baik. Sekolah juga harus
berupaya menciptakan lingkungan yang bernuansa religius, seperti membiasakan
solat berjama’ah, menegakkan disiplin dalam kebersihan, ketertiban, kejujuran,
tolong-menolong, sehingga nilai-nilai agama menjadi kebiasaan, tradisi atau
budaya seluruh siswa. Kemudian, sikap dan perilaku guru yang kurang dapat
diteladani atau menyimpang hendaknya tidak segan-segan diambil tindakan.
Sementara itu, masyarakat juga harus berupaya menciptakan lingkungan yang
kondusif bagi pembentukan akhlak, seperti membiasakan solat berjama’ah, gotong
royong, kerja bakti, memelihara ketertiban dan kebersihan, menjauhi hal-hal
yang dapat merusak moral, dan sebagainya.
e. Pendidikan
moral harus menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk teknologi
modern. Kesempatan berkreasi, pameran, kunjungan, berkemah dan sebagainya,
harus digunakan sebagai peluang untuk membina moral.
f. Pembinaan
moral pada anak bukan dengan cara menyuruh anak menghafalkan rumusan tentang baik
dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Moral bukanlah suatu pelajaran yang
dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari
sejak kecil. Namun, moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak
sebaliknya. Misalnya, seorang anak dibiasakan makan, minum, tidur, berjalan,
berbicara, dan berhubungan dengan orang lain, sesuai ketentuan agama.
Selanjutnya dibiasakan juga bersikap jujur, adil, konsekuen, ikhlas, pemaaf,
sabar, berbaik sangka dan sebagainya dalam berbagai aspek kehidupan.
Dengan
demikian, pembinaan moral memang sangatlah penting. Pendidikan moral harus
dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan di bidang pendidikan negeri
ini. Sehingga, Indonesia tidak hanya mencetak generasi-generasi yang pintar
saja, tetapi juga bermoral, beradab dan memiliki karakter-karakter yang
dibutuhkan oleh bangsa ini.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Defek moral adalah kondisi
individu yang hidupnya delinquent (nakal, jahat), selalu
melakukan kejahatan, dan bertingkah laku a-sosial atau anti social; namun tanpa
penyimpangan atau gangguan organic pada fungsi inteleknya, hanya saja
inteleknya tidak berfungsi, sehingga terjadi kebekuan moral yang kronis. Oleh
karena itu sebagai calon guru PPKn untuk mengatasi hal tersebut, pendidikan moral saat ini menjadi salah satu
cara dalam membenahi moral-moral bangsa yang kian rusak setelah dahulu pada
waktu orde baru sudah dijadikan alat untuk membentuk moral masyarakat.
Keberhasilan pendidikan moral dalam membenahi kerusakan moral tergantung pada
pihak-pihak yang menjalankan. Dengan demikian, pembinaan moral
memang sangatlah penting. Pendidikan moral harus dijadikan salah satu prioritas
dalam pembangunan di bidang pendidikan negeri ini. Sehingga, Indonesia tidak
hanya mencetak generasi-generasi yang pintar saja, tetapi juga bermoral,
beradab dan memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini.
B. Saran
Sebagai
calon guru PPKn segala tingkah laku dan perbuatannya adalah sebagai suri
tauladan, maka hendaknya dalam bertingkah laku sehari-hari mampu mencerminkan
nilai-nilai Pancasila. Serta harus ada campur tangan Pemerintah dalam mengawasi
pelaksanaan pendidikan moral sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal.
Pengawasan bukan hanya pada pelaksanaan namun pada tenaga pendidik juga apabila
terdapat tenaga pengajar yang tidak sesuai dengan pelaksanaan maka herus diberi
sanksi yang tegas.
DAFTAR
PUSTAKA
http://pintuonline.com/artikel/pendidikan-dan-moralitas-perspektif-sosiologi.html.
http://www.slideshare.net/AhmadWahyudinRocknRoll/makalah-pendidikan-pancasila
http://indonesiacompanynews.wordpress.com/category/court-mafia/white-collar-crime-corruption/page/8/
Agust hutabarat, Peran KPK dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia. 6 Januari 2009 •
Andi Hamzah, Pemberantasan. Korupsi 2005 buku KPK
‘Mengenali dan Memberantas Korupsi’
Kamis, 03 Mei 2012
KASUS DAN ASAS HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN
1.
Lex superior derogat legi
inferiori.
Peraturan perundang-undangan
bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat
lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih
tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang
peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah
Contoh kasus : Kasus Bank Global Tbk.
Dalam kasus
ini, pengurus dan sekaligus pemilik bank tersebut melakukan praktik tidak patut
yang dilakukan oleh seorang bankir (Neloe CS) dan merupakan tindakan kriminal
dari kacamata hukum. Serangkaian praktik memelukan dan berbau kriminal telah
terjadi pada bank tersebut. Mulai dari tidak bersedia memberikan dokumen dan
tidak mau memberikan keterangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas
perbankan, berupaya memusnahkan dokumen sampai menerbitkan surat berharga
fiktif.
Putusan
Pengadilan Negeri NO. 2068/PIDANA BIASA/2005/PN JAKARTA SELATAN, membebaskan
Neloe, CS karena tidak terbukti melakukan perbuatan korupsi dan Putusan
Mahkamah Agung Indonesia No. 1144 K/Pid/2006 yang kemudian menghukum Neloe CS
dengan hokuman 10 Tahun Penjara, karena terbukti perbuatan terpidana telah
melanggar Undang-undang Korupsi.
Dari kasus
diatas dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung telah mengabaikan dan melanggar
doktrin specialite sistematische. Dengan keputusan ini Mahkamah Agung telah
menyatakan diri secara tegas bahwa undang-undang Perbankan sebagai undang yang
bersifat umum, sedangkan undang-undang korupsi merupakan ketentuan yang lebih
khusus. Dari hal tersebut diatas, dalam kasus Neloe, penerapan hukum tindak
pidana perbankan sebagai tindak pidana korupsi dalam penegakan hukum pidana di
Indonesia telah melanggar ketentuan sistematische specialite sebagai secondary
rules yang harusnya dipatuhi. Akibat putusan ini, Mahkamah Agung telah
berkontribusi mendeligitimasi undang-undang perbankan, karena putusan ini
berimplikasi terhadap habisnya kepentingan-kepentingan hukum yang ingin
dilindungi oleh undang-undang perbankan .
Seharusnya MA
menjerat terdakwa dengan UU Perbankan, karena aturan hukum memuat asas lex
specialis derogate legi generali. Jadi bisa dikatakan UU Perbankan merupakan
ketentuan yang lebih khusus sedangkan UU Korupsi merupakan ketentuan yang lebih
umum, bukan sebaliknya.
2.
Lex specialis derogat legi
generalis
Asas ini mengandung makna, bahwa
aturan hukum yang khusus akan menggesampingkan aturan hukum yang umum.
Ada beberapa prinsip yang harus
diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis:
a. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan
hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus
tersebut.
b. Ketentuan-ketentuan lex specialis
harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis
(undang-undang dengan undang-undang).
c. Ketentuan-ketentuan
lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama
dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
Contoh Kasus :
a.
kasus yang menarik untuk dibahas adalah kasus
pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000, pada pasal
46 UU Nomor 26 Tahun 2000 berbunyi “Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang
berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan
mengenai kadaluarsa”. Tentunya bertentangan dengan pasal 28 i UUD NRI 1945 yang
berbunyi ”...dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pertentangan seperti ini tentunya tidak
lagi menggunakan asas lex specialis derogat legi generale melainkan asas lex
superior derogat legi inferiori karena kedua peraturan tersebut secara hierarki
tidak sederajat, jadi yang harus ditaati adalah pasal 28 i UUD NRI 1945.
Jadi solusinya untuk penegakan hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat yang
terjadi sebelum adanya UU pengadilan HAM tersebut tentunya diselesaikan dengan
menggunakan ketentuan umum yang ada dalam KUHP yang berkaitan dengan kasus
tersebut. Dan sangat ironis jika dalam kasus seperti ini masih ada yang
memaksakan untuk menjerat dengan UU pengadilan HAM tanpa memperhatikan peluang
seorang pelaku dapat dibebaskan karena kesalahan seperti ini dan sangatlah sulit
untuk menjerat kembali dengan dakwaan yang berbeda terhadap kasus yang sama
karena kita menganut asas ne bis ni idem.
b.
kasus yang tidak asing lagi dalam masyarakat adalah
tindak pidana korupsi, untuk kasus yang terjadi setelah UU Nomor 31 Tahun 1999
jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentunya diselesaikan menurut UU tersebut bukan lagi
ketentuan umum yang ada dalam KUHP dengan dasar asas lex specialis derogat legi
generale. Tetapi untuk kasus tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU
tindak pidana korupsi tersebut yang digunakan untuk menyelesaikannya bukan lagi
UU tindak pidana korupsi sekalipun ada ketentuan dalam UU tersebut yang
menyatakan UU ini berlaku surut, dengan dasar asas legalitas maka ketentuan
tersebut tidak dapat digunakan, bukan berarti tidak dapat diadili atau
dibiarkan begitu saja, melainkan digunakan ketentuan umum yang ada dalam KUHP
yang berkaitan dengan kasus tersebut jadi tidak ada alasan untuk tidak dapat
menjerat seorang koruptor jika para penegak hukum memang memiliki komitmen untuk
menegakkan hukum.
3.
Asas lex posterior derogat
legi priori.
Aturan hukum yang lebih baru
mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior
derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru.
Asas ini pun memuat
prinsip-prinsip :
a. Aturan
hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama;
b. Aturan
hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama.
Asas ini antara lain bermaksud
mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dengan adanya
Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur
pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting.
Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat
aturan hukum baru mulai berlaku.
Contoh Kasus :
Dilematis
permasalah menjadi semakin bertambah karena berselang satu bulan, muncul
Keputusan Menhut No. 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di
Wilayah Provinsi Jawa Barat. Yang menarik bahwa Keputusan Menteri yang
belakangan secara materiil meralat substansi Keputusan Menhut No. 175. Hal ini
sebagaimana suatu azas bahwa hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama
dalam materi yang sama. Dengan berlakunya keputusan Menteri Kehutanan No.
195/Kpts-II/2003 secara materiil bahwa Keputusan Menteri Kehutanan No.
175/Kpts-II/2003 menjadi gugur, sehingga kedudukan pihak ke III yang telah
memperoleh ijin tidak berpengaruh. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, hukum
yang dinyatakan ugur atau batal demi hukum tidak dengan sendirinya berlaku sebagaimana
mestinya. Sebagai contoh PERDA-PERDA yang bertentangan dengan Undang-Undang No.
41 Th. 1999 tentang Kehutanan, adalah batal demi hukum, namun PERDA tersebut
tidak serta merta gugur, melainkan tetap dimintakan pembatalannya, itupun
daerah ada yang tidak mau melaksanakan.
Berdasarkan
azas ini bahwa yang berlaku secara hukum adalah keputusan Menteri Kehutanan No.
195/Kpts-II/2003 itu artinya usaha-usaha pelestarian dan konservatif kawasan
menjadi mundur. Usaha peningkatan fungsi terutama dari hutan produksi menjadi
kawasan konservasi merupakan kebijakan antisipatif, karena kita tahu istilah
degradasi, deforestasi kawasan hutan baik secara legal (HPHTI, kebun sawit) dan
illegal (penebangan liar, perambahan) sudah merupakan isu nasional yang
menghiasi media sehari-hari baik media tertulis maupun elektronik. Namun hingga
saat ini belum mampu di atasi secara komperhensif. Untuk itu diperlukan
langkah-langkah mendesak terhadap konsevasi, rehabilitsi dan atau reklamasi.
Kawasan produksi dan lindung rentan terhadap tekanan eksternal/usaha-usaha
ekonomisasi dari pemilik modal besar, bersamaan dengan itu kita sering berada
pada posisi yang lemah.
Kedua azas
hukum yang telah dijelaskan di atas dimaksudkan untuk menjaga kepastian hukum,
dalam kasus ini bagi pihak perusahaan menyangkut akan kepastian lahan dan
kepastian usaha. Di Negara kita kepastian hukum merupakan variabel yang sangat
dikeluhkan oleh dunia investor. Keadaan tersebut dapat diketahui setiap kali
Kepala Negara betemu dengan pengusaha asing, statement awal yang diperlukan
adalah kepastian hukum.
4.
Asas
Undang-Undang Tidak Berlaku Surut (Nullum delictum sine praevia lege
poenali)
Seandainya seseorang melakukan suatu
tindak pidana yang baru kemudian hari terhadap
tindakan yang serupa diancam dengan pidana, pelaku tdk dapat dipidana atas ketentuan yang baru itu. Hal ini untuk menjamin warga
negara dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
Contoh
kasus :
Permohonan yang diajukan oleh Wakil
Ketua DPRD Kabupaten Kupang Anthon Melkianus Natun dinyatakan ditolak untuk
seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pembacaan putusan dibacakan oleh
Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi di
Ruang Sidang Pleno MK. “Menyatakan dalam
Provisi, menolak permohonan provisi Pemohon. Dalam Pokok Permohonan,
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Mahfud membacakan Putusan Nomor
21/PUU-IX/2011 tersebut.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon
mendalilkan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 tersebut multitafsir sehingga bertentangan dengan asas kepastian hukum
dan asas non-retroactive (larangan berlaku surut) serta tidak memenuhi
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Pendapat Mahkamah yang
dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menyatakan
bahwa Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 yang menentukan bahwa Pimpinan
DPRD berasal dari partai politik (Parpol) berdasarkan urutan perolehan kursi
terbanyak di DPRD kabupaten/kota, menurut Mahkamah maksudnya sudah jelas dan
terang, tidak dapat ditafsirkan lain“Mahkamah menilai ketentuan tersebut sama
sekali tidak melanggar asas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum bagi pimpinan DPRD yang telah ditetapkan sebagai pimpinan yang
kemudian karena terjadi pemekaran sebagai aspirasi dari rakyat yang berdaulat,
harus berakhir jabatannya sebagai pimpinan karena urutan perolehan kursi
Parpolnya menjadi berkurang. Kepastian hukum dari peraturan tersebut justru
terletak pada ketentuan bahwa jikalau urutan perolehan kursi Parpol berubah
berhubung dengan pemekaran daerah, atas aspirasi rakyat yang berdaulat, maka
komposisi jabatan pimpinan harus juga berubah,” jelas Fadlil.
Menurut Mahkamah, lanjut Fadlil, ketentuan
Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 justru sesuai dengan kepastian hukum yang adil,
sekaligus perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan a quo, sambung Fadlil
menyebutkan bahwa parpol yang sebelum pemekaran daerah urutan perolehan
kursinya kurang dari Parpol lainnya tetapi kemudian sebab adanya pemekaran
daerah urutan perolehan kursinya menjadi lebih banyak berhak menduduki jabatan
pimpinan DPRD. “Sebaliknya Parpol yang urutan perolehan kursinya menjadi
berkurang dan tidak lagi menempati urutan perolehan kursi terbanyak harus
diberhentikan dari jabatan pimpinan DPRD. Hal tersebut bersesuaian pula dengan
ketentuan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang memberikan kepada setiap warga
negara kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” urainya.
Sementara itu, mengenai dalil Pemohon
bahwa Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD
1945 yang merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun, khususnya hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Menurut Mahkamah seperti yang diungkapkan Hakim Konstitusi Muhammad Alim, dalam
hal pemberhentian pimpinan DPRD yang sebelumnya urutan perolehan kursi
Parpolnya terbanyak karena pemekaran daerah, makna kata-kata “tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut” adalah berlaku mutlak di bidang hukum
pidana karena hal itu bertentangan dengan asas legalitas. “Adapun dalam
hubungan dengan permohonan Pemohon, pemberhentian dari jabatan, bukan dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut, melainkan berdasarkan perubahan urutan
perolehan kursi Parpol Pemohon karena adanya perpindahan kursi anggota DPRD
Parpol Pemohon sehingga perolehan kursi Parpol Pemohon tidak lagi menempati
urutan terbanyak,” ujar Alim.
Alim menambahkan semua anggota DPRD,
mewakili para pemilih yang memilih mereka. Jikalau para pemilih yang berdaulat
sudah tidak lagi termasuk dalam wilayah daerah induk, melainkan telah termasuk
dalam wilayah daerah pemekaran, maka anggota DPRD yang masih tetap di wilayah
daerah induk sudah tidak mewakili Pemilih yang sudah termasuk wilayah daerah
pemekaran. “Dengan demikian, setiap ada pemekaran daerah dan ada pemindahan
kursi DPRD ke daerah pemekaran akan mengubah konfigurasi dukungan pemilih yang
berdaulat kepada Parpol tertentu. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang
diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon tidak
beralasan menurut hukum,” ujar Alim.
Dalam putusan tersebut, terdapat tiga
hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, dan Anwar Usman.
Ketiganya menyatakan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dengan
menyatakan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 adalah inkonstitusional
bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu inkonstitusional
sepanjang tidak ditafsirkan: “komposisi pimpinan DPRD tidak berubah
walaupun terjadi perubahan komposisi jumlah kursi masing-masing partai politik
akibat pengisian anggota DPRD daerah pemekaran dari kabupaten/kota yang terjadi
setelah penetapan pimpinan DPRD kabupaten/kota induk berdasarkan hasil
pemilihan umum”.
Dari berbagai ketentuan, jelas Hamdan, hukum
memberi jaminan masa jabatan pimpinan DPRD adalah lima tahun dan tidak ada
mekanisme untuk memberhentikannya di tengah masa jabatan kecuali berdasarkan
ketentuan Pasal 42 PP 16/2010. Oleh karena itu, alasan yang digunakan
untuk mengganti posisi salah satu pimpinan DPRD Kabupaten Kupang yang dijabat
oleh Pemohon dengan alasan jumlah kursi Partai HANURA berkurang setelah
pengalihan sebagian anggota ke DPRD Kabupaten Sabu Raijua akibat pengisian
anggota DPRD di daerah pemekaran adalah tidak adil bagi Pemohon karena
menyalahi ketentuan mengenai alasan-alasan pemberhentian pimpinan DPRD di
tengah masa jabatan.
Hamdan mengemukakan tidak ada satupun
mekanisme hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk
memberhentikan pimpinan DPRD karena perubahan komposisi jumlah kursi akibat
pemekaran daerah, sehingga hukum harus memberi jaminan bagi seseorang yang
sudah diangkat menjadi pimpinan DPRD untuk masa jabatan lima tahun dan tidak
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya tanpa alasan yang sudah diatur dengan
jelas.
Mekanisme penentuan pimpinan DPRD bukanlah
persoalan konstitusional, tetapi persoalan legal policy dan politik hukum
pembentuk Undang-Undang. “Artinya, apakah pimpinan DPRD ditentukan berdasarkan
peringkat perolehan kursi partai politik ataukah peringkat jumlah kursi di DPRD
atau pemilihan oleh anggota DPRD hanyalah cara dan pilihan politik semata-mata
dan bukan persoalan konstitusi. Oleh karena itu, dalam kasus ini persoalan
legal policy tidak boleh mengorbankan hak konstitusional warga negara untuk
mendapatkan kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh konstitusi in
casu hak seseorang yang telah diangkat untuk menduduki jabatan pimpinan DPRD
selama 5 tahun yang telah dijamin oleh hukum yang telah ada sebelumnya.
Oleh karena itu, untuk mencegah pelanggaran prinsip kepastian hukum yang
adil yang dijamin konstitusi, maka penafsiran Pasal 354 ayat (2) UU
27/2009 tersebut perlu dibatasi dan ditegaskan oleh Mahkamah.
Langganan:
Postingan (Atom)