Minggu, 14 April 2013

Membangun Pendidikan Berkarakter


Pengumuman kelulusan ujian nasional (UN) selalu menghadirkan dua sisi emosional yang sangat kontras. Di satu sisi, hampir sebagian besar pelajar yang mendapatkan kelulusan terutama di kota besar merayakannya dengan sukaria dan hura-hura berlebihan. Mulai konvoi kendaraan beramai-ramai hingga mencoret-coret baju seragam.

DI lain pihak, para pelajar yang tidak lulus menangis sejadi-jadinya, hingga tak jarang kita dapatkan berita percobaan bunuh diri karena frustrasi. Dua sisi perilaku pelajar kita seperti ini sangat disayangkan. Dunia pendidikan seharusnya jauh dari bingkai kejadian seperti di atas. Semestinya pendidikan mampu menciptakan karakter pelajar dengan pemikiran logis dan mampu membentuk insan-insan terdidik dengan emosi cerdas.

Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan jelas disebutkan sebuah alasan dibentuknya sebuah pemerintahan negara Indonesia yaitu "Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa"

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cerdas itu bermakna sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dan lainnya); tajam pikiran. Di sini jelas, ada dua elemen yang disebutkan yaitu akal dan budi.

Akal tentu merujuk pada hal intelektualitas. Sedangkan budi merujuk perilaku, moral, dan karakter. Bahkan terkait pendidikan ini, amandemen keempat UUD 1945 lebih spesifik menjelaskan dalam bab 13 pasal 31 ayat 3: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang".

Sangat jelas cita-cita dan semangat UUD atas pendidikan kita. Yakni bukan sekadar pembentukan intelektualitas semata. Tapi juga budi pekerti luhur-akhlak mulia. Namun dalam taraf pelaksanaannya ada yang salah. Sehingga, pendidikan kita kehilangan orientasi yang seharusnya. Tetapi hanya sebatas output hasil semata berupa angka-angka.

Orientasi yang salah inilah menjadikan bangsa kita tidak kunjung bangkit dari keterpurukan permasalahan. Penyakit akut kemiskinan dan korupsi terus menggelayuti masa depan bangsa kita. Sebab, pendidikan kita terjebak dalam orientasi pragmatis sehingga tergiur untuk mencapai tujuan dengan cara-cara praktis.

Kecerdasan intelektual diraih namun mental para anak bangsa kering dan hampa tanpa karakter. Erie Sudewo dalam bukunya Character Building (2011) secara gamblang menggambarkan betapa pentingnya elemen karakter. Ia menyatakan "Tanpa karakter, manusia pun bisa unggul dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Namun semakin dia cerdas, semakin tinggi kedudukannya, dan semakin kaya, maka semakin jahatlah dirinya. Sebab orang yang unggul tanpa karakter,  yang muncul adalah tabiatnya. Sifat-sifat buruknya sebagai perilaku sehari-hari".

Selama ini sekolah formal semacam SMP dan SMA selalu menjadi tujuan utama orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sedangkan sekolah-sekolah nonformal semacam asrama dan pondok pesantren selalu menjadi pilihan terakhir. Dengan alasan-alasan yang cukup lumrah dan manusiawi, pondok pesantren mendapatkan predikat sebagai sebuah lembaga pendidikan yang kolot, kumuh, dan jauh dari kemajuan jaman.

Ada berbagai kelebihan dan kekurangan yang masing-masing dimiliki oleh sekolah nonformal dan pondok pesantren. Sekolah formal cenderung menghasilkan lulusan-lulusan yang melek terhadap dunia luar dan memiliki output intelektualitas yang lebih, namun cenderung hampa karakter.

Sebaliknya, alumni pondok pesantren cenderung memiliki karakter yang kuat, namun gagap terhadap perkembangan dunia luar, dan kemampuan intelektualitasnya di bawah sekolah formal. Dan, kenyataannya adalah selama ini sekolah formal tidak mampu mengemban tugas untuk memberikan kebutuhan pendidikan karakter kepada para pelajar.

Mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan pun semakin tahun kian berkurang porsinya. Hal yang semakin membuat miris adalah selain asupan mata pelajaran tersebut semakin sedikit, para pendidik pun tak mampu menerapkan nilai-nilai moral dalam setiap interaksi nyata terutama pada pertemuan-pertemuannya di kelas.

Setiap pertemuan di kelas para guru cenderung hanya sekadar menunaikan kewajiban menyampaikan materi dan abai terhadap nilai. Setelah selesai menyampaikan mata pelajaran, maka interaksi antara guru dan murid pun berakhir sampai saat itu juga. Proses pembangunan emosional antara guru-murid nyaris tak ada. Padahal proses pembentukan emosional dan pembentukan karakter hanya bisa dilakukan melalui interaksi masif yang bukan sekadar basa-basi. Hal inilah yang justru ada di dunia pondok pesantren.

Perkara teknis pengimplementasian amanat UUD inilah yang seharusnya ditekankan oleh pemerintah terutama Kementerian Pendidikan. Pemerintah harus mampu menggabungkan metode pembelajaran antara pendidikan nonformal pondok pesantren dengan pendidikan formal modern.

Sehingga, pendidikan kita tidak hanya sekadar penanaman intelektualitas semata. Tetapi juga penanaman karakter. Dengan begitu, kenakalan-kenakalan pelajar bisa segera terhapus dan tumbuhlah pelajar-pelajar yang cerdas nan santun.

Guru Tua Yang Terbuang


Konon dulu pernah ada tradisi membuang guru yang sudah tua ke hutan belantara. Mereka yang dibuang adalah guru yang sudah tidak berdaya untuk mendidik murid-muridnya.
Pada suatu ahri ada seorang murid yang berniat membuang gurunya ke hutan, karena si guru telah lumpuh dan agak pikun. Si murid tampak bergegas menyusuri hutan sambil menggendong gurunya. Si guru yang kelihatan tak berdaya berusaha menggapai setiap ranting pohon yang bisa diraihnya lalu mematahkannya dan menaburkannya di sepanjang jalan yang mereka lalui.
Sesampai di dalam hutan yang sangat lebat, si murid meurunkan guru tersebut dan mengucapkan kata perpisahan sambil berusaha menahan sedih karena ternyata dia tidak meyangka tega melakukan perbuatan ini terhadap gurunya itu.
Justru si guru yang tampak tegar, dalam senyumnya dia berkata :
“Muridku, aku sangat menyanyangimu. Sejak kau kecil sampai dewasa aku selalu mendidikmu dengan segenap cintaku. Bahkan sampai hari ini rasa sayangku tidak berkurang sedikit pun. Tadi aku sudah menandai sepanjang jalan yang kita lalui dengan ranting-ranting kayu. Aku takut kau tersesat, ikutilah tanda itu agar kau selamat sampai dirumah.”
Setelah mendengar kata-kata tersebut, si murid menangis dengan sangat keras, kemudian langsung memeluk gurunya dan kembali menggendongnya untuk membawa gurunya pulang kerumah. Murid tersebut akhirnya merawat gurunya dan sangat mengasihinya sampai gurunya meninggal.
Jadi pelajaran yang bisa kita petik dari cerita diatas adalah “ Guru bukan barang rongsokan yang bisa dibuang atau diabaikan setelah terlihat tidak berdaya. Bagaimanapun Guru adalah peletak dasar kesuksesan Murid.

Sumber : Buku karya Endelweis Almira “GURU, hidupmu hanya untuk kami”

Kalau Bukan Saya, Siapa lagi ??


Apakah sudah merata pendidikan ke pelosok=pelosok negeri Indonesia yang memang kekayaan alam laur biasa melimpah ? jauh dari layak, mulai dari kelas seperti kandang ayam, genting dan atap kelas yang rusak berlubang dan bila hujan datang kegiatan belajar harus berhenti. Belum lagi kesejahteraan guru terpencil dan peningkatan pendidikan dari tenaga guru itu sendiri tiada tergapai pula.
Bagaimana mau pintar dan cerdas bangsa kita ini bila pendidikannya tidak merata? Ada kisah menyentuh seorang guru yang berada di tanah Papua daerah kaki gunung Jayawijaya Papua lulusan SD bernama Kolintanma Rosumbre.
Dia ikhlas mengajar kepada murid-muridnya yang berjumlah 15 orang dengan kondisi kelas seadanya dari kayu-kayu, 1 papan tulis, tidak ada meja guru, tidak ada meja bagi muridnya, murid-murid membawa kertas bekas untuk menulis, murid-muridnya pun tak berseragam, bahkan ada yang telanjang.“saya melihat mereka antusias untuk belajar itu sungguh luar biasa. Senang saya karena dengan keinginan dan tekadlah yang mampu mempercepat transformasi ilmu saya kepada mereka, walaupun kemampuan saya hanya bisa mengajari membaca menulis dan menghitung sederhana. Cerita guru lulusan SD ini.”
Saya merasa kasihan dan sedih melihat anak-anak di sini tidak merasakan pendidikan walaupun hanya membaca, menulis, dan berhitung karena dengan dasar itulah saya mengajar mereka agar bisa mentas dari kebutaan ilmu.”
“kalau bukan saya, lalu siapa lagi yang memberikan sedikit ilmu kepada mereka, meskipun saya hanya lulusan SD akan saya beri pula semngat untuk menjadi guru dan mengajar disini.”
Guru bijak dan sabar itu menghela nafas panjang.
“coba bayangkan saja akan menjadi apa bangsa ini bila tidak ada guru ?” ucap Rosumbre dengan mata berkaca-kaca dan tanapa alas kaki ini.
“harapan saya tidak banyak kepada pemerintah Indonesia ini, bersungguhlah dalam mencerdaskan bangsa ini karena itu kita mampu mengelola kekayaan alam kita secara mandiri.”
Itulah sekelumit curahan guru di daerah terpencil yang mengajar dari hati karena tuntutan nurani, bukan materi !

Sumber : Buku karya Endelweis Almira “GURU, hidupmu hanya untuk kami”