Kamis, 03 Mei 2012

KASUS DAN ASAS HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN

1.      Lex superior derogat legi inferiori.
Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah
Contoh kasus : Kasus Bank Global Tbk.
Dalam kasus ini, pengurus dan sekaligus pemilik bank tersebut melakukan praktik tidak patut yang dilakukan oleh seorang bankir (Neloe CS) dan merupakan tindakan kriminal dari kacamata hukum. Serangkaian praktik memelukan dan berbau kriminal telah terjadi pada bank tersebut. Mulai dari tidak bersedia memberikan dokumen dan tidak mau memberikan keterangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas perbankan, berupaya memusnahkan dokumen sampai menerbitkan surat berharga fiktif.
Putusan Pengadilan Negeri NO. 2068/PIDANA BIASA/2005/PN JAKARTA SELATAN, membebaskan Neloe, CS karena tidak terbukti melakukan perbuatan korupsi dan Putusan Mahkamah Agung Indonesia No. 1144 K/Pid/2006 yang kemudian menghukum Neloe CS dengan hokuman 10 Tahun Penjara, karena terbukti perbuatan terpidana telah melanggar Undang-undang Korupsi.
Dari kasus diatas dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung telah mengabaikan dan melanggar doktrin specialite sistematische. Dengan keputusan ini Mahkamah Agung telah menyatakan diri secara tegas bahwa undang-undang Perbankan sebagai undang yang bersifat umum, sedangkan undang-undang korupsi merupakan ketentuan yang lebih khusus. Dari hal tersebut diatas, dalam kasus Neloe, penerapan hukum tindak pidana perbankan sebagai tindak pidana korupsi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia telah melanggar ketentuan sistematische specialite sebagai secondary rules yang harusnya dipatuhi. Akibat putusan ini, Mahkamah Agung telah berkontribusi mendeligitimasi undang-undang perbankan, karena putusan ini berimplikasi terhadap habisnya kepentingan-kepentingan hukum yang ingin dilindungi oleh undang-undang perbankan .
Seharusnya MA menjerat terdakwa dengan UU Perbankan, karena aturan hukum memuat asas lex specialis derogate legi generali. Jadi bisa dikatakan UU Perbankan merupakan ketentuan yang lebih khusus sedangkan UU Korupsi merupakan ketentuan yang lebih umum, bukan sebaliknya.

2.      Lex specialis derogat legi generalis
Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan menggesampingkan aturan hukum yang umum.
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis:  
a.        Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
b.       Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang).
c.       Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
Contoh Kasus :
a.      kasus yang menarik untuk dibahas adalah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000, pada pasal 46 UU Nomor 26 Tahun 2000 berbunyi “Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa”. Tentunya bertentangan dengan pasal 28 i UUD NRI 1945 yang berbunyi ”...dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pertentangan seperti ini tentunya tidak lagi menggunakan asas lex specialis derogat legi generale melainkan asas lex superior derogat legi inferiori karena kedua peraturan tersebut secara hierarki tidak sederajat, jadi yang harus ditaati adalah pasal 28 i UUD NRI 1945. Jadi solusinya untuk penegakan hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum adanya UU pengadilan HAM tersebut tentunya diselesaikan dengan menggunakan ketentuan umum yang ada dalam KUHP yang berkaitan dengan kasus tersebut. Dan sangat ironis jika dalam kasus seperti ini masih ada yang memaksakan untuk menjerat dengan UU pengadilan HAM tanpa memperhatikan peluang seorang pelaku dapat dibebaskan karena kesalahan seperti ini dan sangatlah sulit untuk menjerat kembali dengan dakwaan yang berbeda terhadap kasus yang sama karena kita menganut asas ne bis ni idem.
b.      kasus yang tidak asing lagi dalam masyarakat adalah tindak pidana korupsi, untuk kasus yang terjadi setelah UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentunya diselesaikan menurut UU tersebut bukan lagi ketentuan umum yang ada dalam KUHP dengan dasar asas lex specialis derogat legi generale. Tetapi untuk kasus tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU tindak pidana korupsi tersebut yang digunakan untuk menyelesaikannya bukan lagi UU tindak pidana korupsi sekalipun ada ketentuan dalam UU tersebut yang menyatakan UU ini berlaku surut, dengan dasar asas legalitas maka ketentuan tersebut tidak dapat digunakan, bukan berarti tidak dapat diadili atau dibiarkan begitu saja, melainkan digunakan ketentuan umum yang ada dalam KUHP yang berkaitan dengan kasus tersebut jadi tidak ada alasan untuk tidak dapat menjerat seorang koruptor jika para penegak hukum memang memiliki komitmen untuk menegakkan hukum.

3.      Asas lex posterior derogat legi priori.
Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru.
Asas ini pun memuat prinsip-prinsip :
a.       Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama;
b.      Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama.
Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dengan adanya Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting. Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku.
            Contoh Kasus :
Dilematis permasalah menjadi semakin bertambah karena berselang satu bulan, muncul Keputusan Menhut No. 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Yang menarik bahwa Keputusan Menteri yang belakangan secara materiil meralat substansi Keputusan Menhut No. 175. Hal ini sebagaimana suatu azas bahwa hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama dalam materi yang sama. Dengan berlakunya keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003 secara materiil bahwa Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 menjadi gugur, sehingga kedudukan pihak ke III yang telah memperoleh ijin tidak berpengaruh. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, hukum yang dinyatakan ugur atau batal demi hukum tidak dengan sendirinya berlaku sebagaimana mestinya. Sebagai contoh PERDA-PERDA yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan, adalah batal demi hukum, namun PERDA tersebut tidak serta merta gugur, melainkan tetap dimintakan pembatalannya, itupun daerah ada yang tidak mau melaksanakan.
Berdasarkan azas ini bahwa yang berlaku secara hukum adalah keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003 itu artinya usaha-usaha pelestarian dan konservatif kawasan menjadi mundur. Usaha peningkatan fungsi terutama dari hutan produksi menjadi kawasan konservasi merupakan kebijakan antisipatif, karena kita tahu istilah degradasi, deforestasi kawasan hutan baik secara legal (HPHTI, kebun sawit) dan illegal (penebangan liar, perambahan) sudah merupakan isu nasional yang menghiasi media sehari-hari baik media tertulis maupun elektronik. Namun hingga saat ini belum mampu di atasi secara komperhensif. Untuk itu diperlukan langkah-langkah mendesak terhadap konsevasi, rehabilitsi dan atau reklamasi. Kawasan produksi dan lindung rentan terhadap tekanan eksternal/usaha-usaha ekonomisasi dari pemilik modal besar, bersamaan dengan itu kita sering berada pada posisi yang lemah.
Kedua azas hukum yang telah dijelaskan di atas dimaksudkan untuk menjaga kepastian hukum, dalam kasus ini bagi pihak perusahaan menyangkut akan kepastian lahan dan kepastian usaha. Di Negara kita kepastian hukum merupakan variabel yang sangat dikeluhkan oleh dunia investor. Keadaan tersebut dapat diketahui setiap kali Kepala Negara betemu dengan pengusaha asing, statement awal yang diperlukan adalah kepastian hukum.

4.      Asas Undang-Undang Tidak Berlaku Surut (Nullum delictum sine praevia lege poenali)
Seandainya seseorang melakukan suatu tindak pidana yang baru kemudian hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan pidana, pelaku tdk dapat dipidana atas ketentuan yang baru itu. Hal ini untuk menjamin warga negara dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
Contoh kasus :
Permohonan  yang diajukan oleh Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kupang Anthon Melkianus Natun dinyatakan ditolak untuk seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pembacaan putusan dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi di Ruang Sidang Pleno MK.  “Menyatakan dalam Provisi,  menolak permohonan provisi Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Mahfud membacakan Putusan Nomor 21/PUU-IX/2011 tersebut.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 tersebut multitafsir sehingga bertentangan dengan asas kepastian hukum dan asas non-retroactive (larangan berlaku surut) serta tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menyatakan bahwa   Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 yang menentukan bahwa Pimpinan DPRD berasal dari partai politik (Parpol) berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota, menurut Mahkamah maksudnya sudah jelas dan terang, tidak dapat ditafsirkan lain“Mahkamah menilai ketentuan tersebut sama sekali tidak melanggar asas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi pimpinan DPRD yang telah ditetapkan sebagai pimpinan yang kemudian karena terjadi pemekaran sebagai aspirasi dari rakyat yang berdaulat, harus berakhir jabatannya sebagai pimpinan karena urutan perolehan kursi Parpolnya menjadi berkurang. Kepastian hukum dari peraturan tersebut justru terletak pada ketentuan bahwa jikalau urutan perolehan kursi Parpol berubah berhubung dengan pemekaran daerah, atas aspirasi rakyat yang berdaulat, maka komposisi jabatan pimpinan harus juga berubah,” jelas Fadlil.
Menurut Mahkamah, lanjut Fadlil, ketentuan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 justru sesuai dengan kepastian hukum yang adil, sekaligus perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan a quo, sambung Fadlil menyebutkan bahwa parpol yang sebelum pemekaran daerah urutan perolehan kursinya kurang dari Parpol lainnya tetapi kemudian sebab adanya pemekaran daerah urutan perolehan kursinya menjadi lebih banyak berhak menduduki jabatan pimpinan DPRD. “Sebaliknya Parpol yang urutan perolehan kursinya menjadi berkurang dan tidak lagi menempati urutan perolehan kursi terbanyak harus diberhentikan dari jabatan pimpinan DPRD. Hal tersebut bersesuaian pula dengan ketentuan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang memberikan kepada  setiap warga negara kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” urainya.
Sementara itu, mengenai dalil Pemohon bahwa Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, khususnya hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Menurut Mahkamah seperti yang diungkapkan Hakim Konstitusi Muhammad Alim, dalam hal pemberhentian pimpinan DPRD yang sebelumnya urutan perolehan kursi Parpolnya terbanyak karena pemekaran daerah, makna kata-kata “tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut” adalah berlaku mutlak di bidang hukum pidana karena hal itu bertentangan dengan asas legalitas. “Adapun dalam hubungan dengan permohonan Pemohon, pemberhentian dari jabatan, bukan dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, melainkan berdasarkan perubahan urutan perolehan kursi Parpol Pemohon karena adanya perpindahan kursi anggota DPRD Parpol Pemohon sehingga perolehan kursi Parpol Pemohon tidak lagi menempati urutan terbanyak,” ujar Alim.
Alim menambahkan semua anggota DPRD, mewakili para pemilih yang memilih mereka. Jikalau para pemilih yang berdaulat sudah tidak lagi termasuk dalam wilayah daerah induk, melainkan telah termasuk dalam wilayah daerah pemekaran, maka anggota DPRD yang masih tetap di wilayah daerah induk sudah tidak mewakili Pemilih yang sudah termasuk wilayah daerah pemekaran. “Dengan demikian, setiap ada pemekaran daerah dan ada pemindahan kursi DPRD ke daerah pemekaran akan mengubah konfigurasi dukungan pemilih yang berdaulat kepada Parpol tertentu. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Alim.
Dalam putusan tersebut, terdapat tiga hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, dan  Anwar Usman. Ketiganya menyatakan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 adalah inkonstitusional bersyarat  (conditionally unconstitutional),  yaitu inkonstitusional sepanjang tidak ditafsirkan:  “komposisi pimpinan DPRD tidak berubah walaupun terjadi perubahan komposisi jumlah kursi masing-masing partai politik akibat pengisian anggota DPRD daerah pemekaran dari kabupaten/kota yang terjadi setelah penetapan pimpinan DPRD kabupaten/kota induk berdasarkan hasil pemilihan umum”.
Dari berbagai ketentuan, jelas Hamdan, hukum memberi jaminan masa jabatan pimpinan DPRD adalah lima tahun dan tidak ada mekanisme untuk memberhentikannya di tengah masa jabatan kecuali berdasarkan ketentuan Pasal 42 PP 16/2010.  Oleh karena itu, alasan yang digunakan untuk mengganti posisi salah satu pimpinan DPRD Kabupaten Kupang yang dijabat oleh Pemohon dengan alasan jumlah kursi Partai HANURA berkurang setelah pengalihan sebagian anggota ke DPRD Kabupaten Sabu Raijua akibat pengisian anggota DPRD di daerah pemekaran adalah tidak adil bagi Pemohon karena menyalahi ketentuan mengenai alasan-alasan pemberhentian pimpinan DPRD di tengah masa jabatan.
Hamdan mengemukakan tidak ada satupun mekanisme hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk memberhentikan pimpinan DPRD karena perubahan komposisi jumlah kursi akibat pemekaran daerah, sehingga hukum harus memberi jaminan bagi seseorang yang sudah diangkat menjadi pimpinan DPRD untuk masa jabatan lima tahun dan tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya tanpa alasan yang sudah diatur dengan jelas. 
Mekanisme penentuan pimpinan DPRD bukanlah persoalan konstitusional, tetapi persoalan  legal policy dan politik hukum pembentuk Undang-Undang. “Artinya, apakah pimpinan DPRD ditentukan berdasarkan peringkat perolehan kursi partai politik ataukah peringkat jumlah kursi di DPRD atau pemilihan oleh anggota DPRD hanyalah cara dan pilihan politik semata-mata dan bukan persoalan konstitusi. Oleh karena itu, dalam kasus ini persoalan legal policy tidak boleh mengorbankan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh konstitusi  in casu hak seseorang yang telah diangkat untuk menduduki jabatan pimpinan DPRD selama 5 tahun yang telah dijamin oleh hukum yang telah ada sebelumnya.  Oleh karena itu, untuk mencegah pelanggaran prinsip kepastian hukum yang adil  yang dijamin konstitusi, maka penafsiran Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 tersebut perlu dibatasi dan ditegaskan oleh Mahkamah.